Rabu, 25 Desember 2013

Kajian Fiqhi



Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di rahimahullah berkata,
وَمِنْ قَوَاعِدِ الشَّرِيْعَةِ التَّيْسِيْرُ
فِي كُلِّ أَمْرٍ نَابَهُ تَعْسِيْرٌ
Di antara kaedah syari’at adalah memberikan kemudahan,
Yaitu kemudahan ketika datang kesulitan.
Maksud dari kaedah di atas: di antara hikmah dan rahmat Allah, apabila datang sesuatu kesulitan, maka syari’at diperingan dan dipermudah.

Dalil Kaedah

Kaedah ini berasal dari beberapa ayat di antaranya,
فَإِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا (5) إِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا (6)
Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.” (QS. Asy Syarh: 5-6).
يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu” (QS. Al Baqarah: 185).
يُرِيدُ اللَّهُ أَنْ يُخَفِّفَ عَنْكُمْ وَخُلِقَ الْإِنْسَانُ ضَعِيفًا
Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, dan manusia dijadikan bersifat lemah.” (QS. An Nisa’: 28).
Sebagai pendukung juga dari hadits,
يَسِّرُوا وَلاَ تُعَسِّرُوا
Buatlah mudah, jangan mempersulit”. (HR. Bukhari no. 69 dan Muslim no. 1734).
Dalam hadits lain disebutkan,
فَإِنَّمَا بُعِثْتُمْ مُيَسِّرِينَ ، وَلَمْ تُبْعَثُوا مُعَسِّرِينَ
Kalian diutus untuk mempermudah dan kalian tidaklah diutus untuk mempersulit”. (HR. Bukhari no. 220).
Dalil-dalil yang ada menunjukkan:
1-      Kesulitan dinafikan dalam syari’at.
2-      ‘Illah (sebab) sebagian hukum syar’i diperintahkan adalah untuk mempermudah.
3-      Setelah ditelaah, setiap hukum syar’i itu mudah untuk dijalankan dan terdapat maslahat bagi hamba, inilah nikmat Allah.

Kesulitan Mendatangkan Kemudahan

Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di menggunakan lafazh ‘usru, bukan menggunakan masyaqqoh. Padahal kebanyakan fuqoha menggunakan lafazh,
المشَقَّةُ تَجْلِبُ التَّيْسِيْرُ
Masyaqqoh mendatangkan kemudahan.” Ibarat yang dipakai Syaikh As Sa’di lebih tepat karena beberapa alasan:
1- Dalil syar’i menunjukkan peniadaan ‘usru (kesulitan), bukan peniadaan masyaqqoh (merasa berat atau susah). Ada beda antara ‘usru (kesulitan) dan masyaqqoh (merasa berat). Masyaqqoh itu pasti ditemui dalam setiap amalan dan ‘usru tidak mesti. Bangun pagi untuk shalat Shubuh, itu masyaqqoh (sesuatu yang berat), bukan ‘usru. Sehingga bukan sebab tidak bisa bangun pagi karena mendapati masyaqqoh (berat), maka tidak ada shalat Shubuh, ini bukan maksudnya.
2- Hukum syar’i yang dijalankan pasti ada masyaqqoh di dalamnya. Jihad pasti berat, amar ma’ruf juga pasti berat. Begitu pula shalat di dalamnya pun ada masyaqqoh karena Allah Ta’ala berfirman,
وَاسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلَاةِ وَإِنَّهَا لَكَبِيرَةٌ إِلَّا عَلَى الْخَاشِعِينَ
Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu’.” (QS. Al Baqarah: 45). Namun masyaqqoh di sini tidak mesti selalu ada. Atau masyaqqoh itu masih mampu dipikul, atau pula masyaqqoh tersebut masih kalah dengan maslahat yang lebih besar.
3- Masyaqqoh itu tidak ada patokannya.
Jadi kaedah yang lebih tepat adalah,
العُسْرُ سَبَبٌ لِلتَّيْسِيْر
Kesulitan sebab datangnya kemudahan.
Atau seperti ibarat yang diungkapkan oleh Imam Asy Syafi’i dalam Al Umm,
إِذَا ضَاقَ الأَمْرُ اِتَّسَعَ
Jika perkara itu sempit, maka jadilah lapang.

Kesulitan Apa Saja yang Mendatangkan Kemudahan?

1- Sakit: ada keringanan untuk tidak puasa.
2- Safar: menyebabkan bolehnya mengqoshor shalat (mengerjakan shalat 4 raka’at menjadi 2 raka’at).
3- Naqsh (kekurangan): orang yang gila dan anak kecil ada keringanan dalam beberapa hukum syari’at yang tidak diwajibkan bagi mereka; wanita haidh gugur dalam melaksanakan shalat dan thowaf wada’.
4- Karena tidak tahu, dipaksa, keliru, maka dimaafkan.

Bukan Menyusahkan Diri

Perlu dipahami bahwa syari’at tidaklah memaksudkan kita bersusah-susah dalam ibadah. Jadi janganlah kesusahan itu yang dicari. Kalau bisa mudah dilakukan, janganlah dipersulit. Misalnya jika ada yang ingin berhaji dengan berjalan kaki dari negerinya, maka ini tidak dituntut oleh syari’at karena ada sarana yang mudah yang bisa ditempuh.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Pahala yang engkau peroleh sesuai kadar kesusahanmu.” (Muttafaqun ‘alaih). Yang dimaksud di sini, kita harus mencari kepayahan dalam beribadah. Yang mendapatkan pahala adalah kecapekan yang dihasilkan dari ibadah yang tidak dicari-cari oleh hamba.

Cara Syari’at Memberi Kemudahan

Syari’at dalam memberi kemudahan menempuh beberapa cara, di antaranya:
-          Menggugurkan suatu yang wajib. Contoh: Gugurnya shalat bagi wanita haidh.
-          Mengurangi suatu yang wajib. Contoh: Shalat bagi musafir dengan cara diqoshor.
-          Mengganti wajib dengan yang lain. Contoh: Tayamum sebagai ganti dari wudhu.
-          Mendahulukan yang wajib. Contoh: Mendahulukan zakat (sedekah wajib), mendahulukan shalat Jama’ah.
-          Mengakhirkan yang wajib. Contoh: Musafir mengqodho’ puasa setelah Ramadhan.
Semoga Allah senantiasa memberikan kepada kita ilmu yang bermanfaat.
Hanya Allah yang memberi taufik dan hidayah.

Jumat, 22 November 2013

DEFINISI & KERANGKA BERPIKIR



DEFINISI & KERANGKA BERPIKIR

Apa itu ‘definisi’?
Untuk bisa menerangkan konsep saya tentang ‘definisi’, saya tidak akan langsung mendefinisikannya. Akan lebih mudah bila saya menerangkannya begini saja: Definisi akan sesuatu itu, ternyata berisi tentang apakah sesuatu itu, gambaran tentang sesuatu itu, cakupan, serta batasannya. Secara eksplisit, tidak semua definisi memiliki semua poin yang saya paparkan barusan. Namun bila pembaca mau mencermati baik-baik, secara tersirat definisi sudah mencakup keempat poin tadi.

Nah, sekarang kita masuk ke ‘kerangka berpikir’ atau ‘paradigma’.

Kerangka berpikir seseorang dibangun oleh apa yang digunakannya sebagai ‘bata-bata definisi’. Contohnya begini: kalau sejak awal yang seseorang definisikan sebagai ‘warna hitam’ adalah warna merah yang kita kenal, maka setiap kali melihat warna merah, dia akan mengenalinya sebagai ‘warna hitam’. Tak peduli orang lain mau berteriak-teriak di telinganya hingga hilang akal, kalau dia mendefinisikan ‘warna hitam’ adalah warna merah yang kita kenal, malah dia yang akan menganggap orang lain gila.

Setiap orang memakai atau membuat definisinya sendiri. Itulah yang terjadi di dunia ini, disadari atau tidak. Namun dunia ini tidak sampai kacau karena ada ‘bata-bata definisi’ dasar yang bisa dimengerti dan diterima oleh banyak orang. Kenapa? Karena ‘bata-bata definisi’ itulah yang dialami oleh setiap orang. Contohnya begini: lewat pengalaman, akhirnya setiap orang mengetahui bahwa dia pasti jatuh terhempas kuat ke tanah, bila dia terjatuh/melompat dari atap sebuah gedung. Tak peduli dia orang baik ataupun orang jahat. ‘Bata-bata definisi’ dasar inilah yang biasa kita sebut ‘hukum (alam)’.

Seiring dengan perkembangan kebudayaan manusia, ‘definisi’ makin intens diteliti, sehingga struktur yang ada dalam definisi itu terungkap dengan gamblang. Manusiapun makin mengerti tentang definisi dasar dan turunannya yang terjadi pada diri, lingkungan, tempat hidup, dan keseharian mereka. Dengan mengenali definisi yang berlaku pada (atau yang digunakan oleh) diri mereka, manusia makin mengenali diri mereka sendiri. Bisa dikatakan, sedikit banyak definisi-definisi inilah yang ‘membentuk’ seseorang.

[Tapi di sini saya tidak sedang berupaya untuk mendefinisikan manusia. Manusia masih terlalu kompleks untuk bisa saya definisikan sendiri. Oleh karena itu, saya menggunakan definisi yang diberikan oleh pencipta manusia saja.]

Saya akan memberi sebuah contoh berkenaan dengan pengaruh definisi terhadap kerangka berpikir seseorang. Saya pernah menemui orangtua yang sedikit-sedikit menyebut anaknya bodoh. Mulai dari karena anaknya tidak terlalu pandai dalam matematika, hingga karena anaknya ceroboh dalam membawa piring makannya, sehingga terjatuh dan pecah. Kalau hanya itu saja, mungkin kondisi anaknya sedikit ‘lebih baik’. Tapi beliau menambahkan ucapan bodohnya dengan entah cubitan, tempelengan, atau dorongan keras. Terlalu emosional nampaknya orangtua kita yang satu ini.

Bila anda sempat melihat tulisan Bodoh vs Bijaksana, anda bisa melihat bahwa beliau memiliki definisi ‘bodoh’ yang kabur, tidak terlalu jelas. Saat anaknya dinilai tidak terlalu pandai dalam matematika, wah, yang ini sih sudah jelas: si Anak tidak terlalu pandai dalam matematika. Si Anak bukannya bodoh. Dia (sudah tertulis jelas dari tadi) hanya tidak terlalu pandai matematika (atau mungkin malah belum saja?). Mungkin si Anak hanya perlu diajari matematika dengan metode lain.

Saat anaknya kurang hati-hati membawa piring, beliau menyebutnya bodoh lagi. Padahal yang terjadi adalah anaknya ceroboh, belum tentu bodoh. Kalau ‘tidak pandai’ dan ‘ceroboh’ disamakan dengan ‘bodoh’, saya curiga bahwa yang didefinisikan beliau sebagai ‘bodoh’ adalah segala hal yang dianggap tidak beres dari anaknya. Kesimpulan beliau: anaknya memang bodoh (karena apa yang dilakukannya tidak ada yang beres/sempurna). Padahal mah, rasanya pemahaman beliau tentang kata ‘bodoh’ dan anak yang perlu diperbaiki. Hm...hm...hm... Oke, saya memang belum menikah apalagi menjadi orangtua. Tapi tanpa pengalaman itupun saya mengerti bahwa seorang anak adalah seorang anak. Kalau kita mengharapkan seorang anak bisa melakukan segalanya segera setelah lahir, apa gunanya orangtua dan pendidikan kalau begitu?

Kembali ke masalah definisi. Melalui contoh barusan, saya ingin menyampaikan tentang pentingnya kita mengecek definisi yang kita gunakan sebagai landasan berpikir. Saat definisinya kabur, tidak jelas batasannya, pikiran kita akan sulit mengenali perbedaan antara dua hal. Ibaratnya mata kita menderita rabun jauh, tapi kacamata yang kita gunakan adalah untuk yang rabun dekat. Mana bisa kelihatan? Kerangka berpikir kita pun terbentuk tidak dengan baik, tidak tertata, bahkan kacau. Ujung-ujungnya, persepsi kita keliru, kesimpulan kita jauh dari benar. Dan sayangnya, karena kita bertindak menurut apa yang ada dalam pikiran kita. Jadi tindakan kita bisa menjadi tidak tepat atau keliru.

Selain mengecek definisi yang kita gunakan, kita juga harus mengecek sejauh mana kita memahami definisi itu. Kita harus betul-betul cermat tidak hanya pada definisinya, tapi juga pada pemahaman kita akan definisi itu. Bisa saja kita menggunakan definisi yang benar, tapi pemahaman kita keliru. Itu sama saja dengan ‘membuat definisi sendiri’.

Sebagai penutup, saya ingin bercerita sedikit. Belakangan ini saya dibanjiri ide dan ilham yang berkaitan dengan dua kata, ‘definisi’ dan ‘kerangka berpikir’. Beberapa pemikiran berputar di kepala saya, siap untuk ditulis. Beberapa tulisan saya setelah ini mungkin tidak memiliki topik yang serupa. Tapi benang merahnya jelas: semuanya berkaitan erat dengan bagaimana kita menggunakan dan memahami definisi serta kerangka berpikir yang dihasilkannya. Tunggu saja. Dan anda akan melihat benang merahnya. Semoga...

FILSAFAT PENDIDIKAN



EDUCATION FILOSOFI

Dapat dilihat dalam dua sisi yaitu: (1) pendidikan sebagai praktik dan (2) pendidikan sebagai teori. Pendidikan sebagai praktik yakni seperangkat kegiatan atau aktivitas yang dapat diamati dan disadari dengan tujuan untuk membantu pihak lain (baca: peserta didik) agar memperoleh perubahan perilaku. Sementara pendidikan sebagai teori yaitu seperangkat pengetahuan yang telah tersusun secara sistematis yang berfungsi untuk menjelaskan, menggambarkan, meramalkan dan mengontrol berbagai gejala dan peristiwa pendidikan, baik yang bersumber dari pengalaman-pengalaman pendidikan (empiris) maupun hasil perenungan-perenungan yang mendalam untuk melihat makna pendidikan dalam konteks yang lebih luas.
Diantara keduanya memiliki keterkaitan dan tidak bisa dipisahkan. Praktik pendidikan seyogyanya berlandaskan pada teori pendidikan. Demikian pula, teori-teori pendidikan seyogyanya bercermin dari praktik pendidikan. Perubahan yang terjadi dalam praktik pendidikan dapat mengimbas pada teori pendidikan. Sebaliknya, perubahan dalam teori pendidikan pun dapat mengimbas pada praktik pendidikan
Terkait dengan upaya mempelajari pendidikan sebagai teori dapat dilakukan melalui beberapa pendekatan, diantaranya: (1) pendekatan sains; (2) pendekatan filosofi; dan (3) pendekatan religi. (Uyoh Sadulloh, 1994).
1. Pendekatan Sains
Pendekatan sains yaitu suatu pengkajian pendidikan untuk menelaah dan dan memecahkan masalah-masalah pendidikan dengan menggunakan disiplin ilmu tertentu sebagai dasarnya. Cara kerja pendekatan sains dalam pendidikan yaitu dengan menggunakan prinsip-prinsip dan metode kerja ilmiah yang ketat, baik yang bersifat kuantitatif maupun kualitatif sehingga ilmu pendidikan dapat diiris-iris menjadi bagian-bagian yang lebih detail dan mendalam.
Melalui pendekatan sains ini kemudian dihasilkan sains pendidikan atau ilmu pendidikan, dengan berbagai cabangnya, seperti: (1) sosiologi pendidikan; suatu cabang ilmu pendidikan sebagai aplikasi dari sosiologi dalam pendidikan untuk mengkaji faktor-faktor sosial dalam pendidikan; (2) psikologi pendidikan; suatu cabang ilmu pendidikan sebagai aplikasi dari psikologi untuk mengkaji perilaku dan perkembangan individu dalam belajar; (3) administrasi atau manajemen pendidikan; suatu cabang ilmu pendidikan sebagai aplikasi dari ilmu manajemen untuk mengkaji tentang upaya memanfaatkan berbagai sumber daya agar tujuan-tujuan pendidikan dapat tercapai secara efektif dan efisien; (4) teknologi pendidikan; suatu cabang ilmu pendidikan sebagai aplikasi dari sains dan teknologi untuk mengkaji aspek metodologi dan teknik belajar yang efektif dan efisien; (5) evaluasi pendidikan; suatu cabang ilmu pendidikan sebagai aplikasi dari psikologi pendidikan dan statistika untuk menentukan tingkat keberhasilan belajar siswa; (6) bimbingan dan konseling, suatu cabang ilmu pendidikan sebagai aplikasi dari beberapa disiplin ilmu, seperti: sosiologi, teknologi dan terutama psikologi.
Tentunya masih banyak cabang-cabang ilmu pendidikan lainnya yang terus semakin berkembang yang dihasilkan melalui berbagai kajian ilmiah.
2. Pendekatan Filosofi
Pendekatan filosofi yaitu suatu pendekatan untuk menelaah dan memecahkan masalah-masalah pendidikan dengan menggunakan metode filsafat. Pendidikan membutuhkan filsafat karena masalah pendidikan tidak hanya menyangkut pelaksanaan pendidikan semata, yang hanya terbatas pada pengalaman. Dalam pendidikan akan muncul masalah-masalah yang lebih luas, kompleks dan lebih mendalam, yang tidak terbatas oleh pengalaman inderawi maupun fakta-fakta faktual, yang tidak mungkin dapat dijangkau oleh sains. Masalah-masalah tersebut diantaranya adalah tujuan pendidikan yang bersumber dari tujuan hidup manusia dan nilai sebagai pandangan hidup. Nilai dan tujuan hidup memang merupakan fakta, namun pembahasannya tidak bisa dengan menggunakan cara-cara yang dilakukan oleh sains, melainkan diperlukan suatu perenungan yang lebih mendalam.
Cara kerja pendekatan filsafat dalam pendidikan dilakukan melalui metode berfikir yang radikal, sistematis dan menyeluruh tentang pendidikan, yang dapat dikelompokkan ke dalam tiga model: (1) model filsafat spekulatif; (2) model filsafat preskriptif; (3) model filsafat analitik. Filsafat spekulatif adalah cara berfikir sistematis tentang segala yang ada, merenungkan secara rasional-spekulatif seluruh persoalan manusia dengan segala yang ada di jagat raya ini dengan asumsi manusia memliki kekuatan intelektual yang sangat tinggi dan berusaha mencari dan menemukan hubungan dalam keseluruhan alam berfikir dan keseluruhan pengalaman Filsafat preskriptif berusaha untuk menghasilkan suatu ukuran (standar) penilaian tentang nilai-nilai, penilaian tentang perbuatan manusia, penilaian tentang seni, menguji apa yang disebut baik dan jahat, benar dan salah, bagus dan jelek. Nilai suatu benda pada dasarnya inherent dalam dirinya, atau hanya merupakan gambaran dari fikiran kita. Dalam konteks pendidikan, filsafat preskriptif memberi resep tentang perbuatan atau perilaku manusia yang bermanfaat. Filsafat analitik memusatkan pemikirannya pada kata-kata, istilah-istilah, dan pengertian-pengertian dalam bahasa, menguji suatu ide atau gagasan untuk menjernihkan dan menjelaskan istilah-istilah yang dipergunakan secara hati dan cenderung untuk tidak membangun suatu mazhab dalam sistem berfikir (disarikan dari Uyoh Sadulloh, 1994)
Terdapat beberapa aliran dalam filsafat, diantaranya: idealisme, materialisme, realisme dan pragmatisme (Ismaun, 2001). Aplikasi aliran-aliran filsafat tersebut dalam pendidikan kemudian menghasilkan filsafat pendidikan, yang selaras dengan aliran-aliran filsafat tersebut. Filsafat pendidikan akan berusaha memahami pendidikan dalam keseluruhan, menafsirkannya dengan konsep-konsep umum, yang akan membimbing kita dalam merumuskan tujuan dan kebijakan pendidikan. Dari kajian tentang filsafat pendidikan selanjutnya dihasilkan berbagai teori pendidikan, diantaranya: (1) perenialisme; (2) esensialisme; (3) progresivisme; dan (4) rekonstruktivisme. (Ella Yulaelawati, 2003).
Perenialisme lebih menekankan pada keabadian, keidealan, kebenaran dan keindahan dari pada warisan budaya dan dampak sosial tertentu. Pengetahuan dianggap lebih penting dan kurang memperhatikan kegiatan sehari-hari. Pendidikan yang menganut faham ini menekankan pada kebenaran absolut , kebenaran universal yang tidak terikat pada tempat dan waktu. Aliran ini lebih berorientasi ke masa lalu.
Essensialisme menekankan pentingnya pewarisan budaya dan pemberian pengetahuan dan keterampilan pada peserta didik agar dapat menjadi anggota masyarakat yang berguna. Matematika, sains dan mata pelajaran lainnya dianggap sebagai dasar-dasar substansi kurikulum yang berharga untuk hidup di masyarakat. Sama halnya dengan perenialisme, essesialisme juga lebih berorientasi pada masa lalu.
Eksistensialisme menekankan pada individu sebagai sumber pengetahuan tentang hidup dan makna. Untuk memahami kehidupan seseorang mesti memahami dirinya sendiri. Aliran ini mempertanyakan : bagaimana saya hidup di dunia? Apa pengalaman itu?
Progresivisme menekankan pada pentingnya melayani perbedaan individual, berpusat pada peserta didik, variasi pengalaman belajar dan proses. Progresivisme merupakan landasan bagi pengembangan belajar peserta didik aktif.
Rekonstruktivisme merupakan elaborasi lanjut dari aliran progresivisme. Pada rekonstruktivisme, peradaban manusia masa depan sangat ditekankan. Di samping menekankan tentang perbedaan individual seperti pada progresivisme, rekonstruktivisme lebih jauh menekankan tentang pemecahan masalah, berfikir kritis dan sejenisnya. Aliran ini akan mempertanyakan untuk apa berfikir kritis, memecahkan masalah, dan melakukan sesuatu? Penganut aliran ini menekankan pada hasil belajar dari pada proses.
3. Pendekatan Religi
Pendekatan religi yaitu suatu pendekatan untuk menyusun teori-teori pendidikan dengan bersumber dan berlandaskan pada ajaran agama. Di dalamnya berisikan keyakinan dan nilai-nilai tentang kehidupan yang dapat dijadikan sebagai sumber untuk menentukan tujuan, metode bahkan sampai dengan jenis-jenis pendidikan.
Cara kerja pendekatan religi berbeda dengan pendekatan sains maupun filsafat dimana cara kerjanya bertumpukan sepenuhnya kepada akal atau ratio, dalam pendekatan religi, titik tolaknya adalah keyakinan (keimanan).
Pendekatan religi menuntut orang meyakini dulu terhadap segala sesuatu yang diajarkan dalam agama, baru kemudian mengerti, bukan sebaliknya.
Terkait dengan teori pendidikan Islam, Ahmad Tafsir (1992) dalam bukunya “ Ilmu Pendidikan dalam Persfektif Islam” mengemukakan dasar ilmu pendidikan Islam yaitu Al-Quran, Hadis dan Akal. Al-Quran diletakkan sebagai dasar pertama dan Hadis Rasulullah SAW sebagai dasar kedua. Sementara akal digunakan untuk membuat aturan dan teknis yang tidak boleh bertentangan dengan kedua sumber utamanya (Al-Qur’an dan Hadis), yang memang telah terjamin kebenarannya. Dengan demikian, teori pendidikan Islam tidak merujuk pada aliran-aliran filsafat buatan manusia, yang tidak terjamin tingkat kebenarannya.
Ahmad Tafsir (1992) merumuskan tentang tujuan umum pendidikan Islam yaitu muslim yang sempurna dengan ciri-ciri : (1) memiliki jasmani yang sehat, kuat dan berketerampilan; (2) memiliki kecerdasan dan kepandaian dalam arti mampu menyelesaikan secara cepat dan tepat; mampu menyelesaikan secara ilmiah dan filosofis; memiliki dan mengembangkan sains; memiliki dan mengembangkan filsafat dan (3) memiliki hati yang takwa kepada Allah SWT, dengan sukarela melaksanakan perintah Allah SWT dan menjauhi larangannya dan hati memiliki hati yang berkemampuan dengan alam gaib.
Dalam teori pendidikan Islam, dibicarakan pula tentang hal-hal yang berkaitan dengan substansi pendidikan lainnya, seperti tentang sosok guru yang islami, proses pembelajaran dan penilaian yang islami, dan sebagainya. (selengkapnya lihat pemikiran Ahmad Tafsir dalam bukunya Ilmu Pendidikan dalam Persfektif Islam)
Mengingat kompleksitas dan luasnya lingkup pendidikan, maka untuk menghasilkan teori pendidikan yang lengkap dan menyeluruh kiranya tidak bisa hanya dengan menggunakan satu pendekatan saja. Oleh karena itu, diperlukan pendekatan holistik dengan memadukan ketiga pendekatan di atas yang terintegrasi dan memliki hubungan komplementer, saling melengkapi antara satu dengan yang lainnya. Pendekatan semacam ini biasa disebut pendekatan multidisipliner


Sumber:
Ahmad Tafsir. Ilmu Pendidikan dalam Persfektif Islam. Bandung: Rosda Karya
Ali Saifullah.HA. 1983. Antara Filsafat dan Pendidikan: Pengantar Filsafat Pendidikan. Surabaya: Usaha Nasional
Hasan Langgulung, 1986. Manusia dan Pendidikan; Suatu Analisa Psikologi dan Pendidikan. Jakarta: Pustaka Al-Husna
Ismaun. 2001. Filsafat Ilmu I. (Diktat Kuliah). Bandung: UPI Bandung.
Uyoh Sadulloh.1994. Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung: P.T. Media Iptek