BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Allah telah memberikan kedudukan kepada Nabi Muhammad
sebagai Rasulullah dan menjadi uswatun hasanah dan rahmat bagi sekalian
alam. Patokan dari pemahaman tersebut, maka untuk mengetahui hal- hal yang
harus diteladani dari diri Nabi. Dengan demikian, dapat diketahui hadis Nabi
yang berkaitan dengan ajaran islam.
Selanjutnya menurut sejarah, seluruh hadis tidak ditulis
pada zaman Nabi, hadis yang tertulis secara resmi, contohnya berupa surat-surat
Nabi kepada para penguasa non muslim dalam rangka dakwah adapun yang tidak
resmi berupa catatan-catatan yang dibuat oleh para sahabat tertentu atas
inisiatif mereka sendiri dan jumlahnya itu tidak banyak. Dalam hal ini, hadis
Nabi pernah mengalami pemalsuan-pemalsuan namun pada zaman Nabi, pemalsuan
hadis tersebut belum pernah terjadi.
Dalam sejarah hal-hal yang berkenaan dengan hadis tersebut
merupakan sebagian dari faktor-faktor yang melatarbelakangi pentingnya
penelitian hadis. Dilakukannya kegiatan kritik matan, maka dapat
diketahui apakah sesuatu yang dinyatakan sebagai hadis Nabi memang benar-benar
berasal dari Nabi, karena itu sanad dan matan sama-sama harus diteliti.
Berdasarkan pandangan tersebut, kritik matan hadis
sangat penting dilakukan, karena menyangkut dengan salah satu fungsi hadis
sebagai dasar hukum. Kritik matan dimaksudkan untuk mencari kebenaran
isi hadis, apa memang benar berasal dari Nabi atau tidak.
B. Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, penulis
merumuskan permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana pengertian dan sejarah
kritik Matan hadis?
2. Bagaimana metodologi kritik matan
hadis (kaidah mayor dan kaidah minor)?
3. Bagaimana langkah-langkah dalam
melakukan kritik matan hadis?
C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui pengertian dan sejarah
kritik Matan Hadis
2. Mengetahui metodologi kritik
matan hadis (kaidah mayor dan kaidah minor)
3. Mengetahui langkah-langkah dalam
melakukan kritik matan hadis
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian dan Sejarah Kritik Matan
Pegertian kata kritik sudah dijelaskan sebelumnya. Sedangkan
kata matan secara etimologi adalah punggung jalan atau muka jalan, tanah
yang tinggi dan keras. Secara terminology kata matan (matnul hadis)
berarti materi berita yang berupa sabda, perbuatan atau taqrir Nabi SAW yang
terletak setelah sanad yang terakhir. Secara umum, matan dapat
diartikan selain sesuatu pembicaraan yang berasal/ tentang Nabi, juga berasal/
tentang sahabat atau Tabi’in.[1]
Kritik matan hadis termasuk kajian yang jarang
dilakukan oleh muhadditsin, jika dibandingkan dengan kegiatan mereka terhadap
kritik sanad hadis. Tindakan tersebut bukan tanpa ulasan. Menurut mereka
bagaimana mungkin dapat dikatakan hadis Nabi kalau tidak ada silsilah yang
menghubungkan kita sampai kepada sumber hadis (Nabi Muhammad saw). Kalimat yang
baik susunan katanya dan kandungannya sejalan dengan ajaran Islam, belum dapat
dikatakan sebagai hadis, apabila tidak ditemukan rangkaian perawi sampai kepada
Rasulullah. Sebaliknya, tidaklah bernilai sabda hadis yang baik, apabila matannya
tidak dapat dipertanggung jawabkan keabsahannya.[2]
Ilmu kritik hadis, walaupun belakangan menjadi disiplin ilmu
tersendiri dalam wilayah ilmu hadis. Cikal bakal atau praktiknya sebenarnya
telah tumbuh sejak masa rasulullah. Umar bin khattab umpamanya, ketika ia
menerima kabar dari seseorang yang datang kerumahnya, bahwa Rasulullah telah
menceraikan istri-istrinya, langsung menkonfirmasikan berita tersebut kepada
Rasulullah, Rasulullah menjawab, “tidak”. Umarnya akhirnya mengetahui bahwa
Rasul hanya bersumpah untuk tidak mengumpuli istri-istrinya sebulan.[3]
Pada masa Nabi, seperti sangat
mudah, karena keputusan tentang otentitas sebuah hadis berada di tangan Nabi
sendiri. Lain halnya sesudah Nabi wafat, kritik hadis tidak dapat dilakukan
dengan menanyakan kembali kepada Nabi, melainkan menanyakan kepada orang ikut
mendengar atau melihat hadis itu dari nabi, seperti yang dilakukan oleh Abu
Bakar As-Siddiq.
Kritik matan juga tampak
jelas pada periode sahabat, Aisyah binti Abu Bakar RA, misalnya pernah
mengkritik hadis Abu Hurairah (w.57 H) dengan matan yang berbunyi:
(sesungguhnya mayat diazab disebabkan ratapan keluarganya). Aisyah mengatakan
bahwa periwayat keliru dalam menyampaikan hadis tersebut sambil menjelaskan matan
yang sesungguhnya. Suatu ketika Rasulullah SAW lewat pada suatu kuburan orang
Yahudi dan beliau melihat keluarga si mayat sedang meratap diatasnya.[4]
Rasusulullah juga bersabda : (mereka sedang meratapi si
mayat, sementara si mayat sendiri sedang diazab dalam kuburnya). Lebih lanjut
Aisyah berkata cukuplah Al-Qur’an bukti ketidakbenaran matan hadis yang
datang dari Abu Hurairah RA maknanya bertentangan dengan Al-Qur’an. Dengan
mengutip surah Al-An’am (6) ayat 264 artinya:”....dan seorang yang berdosa
tidak akan memikul dosa orang lain....” beberapa sahabat juga melakukan hal
yang sama, seperti Umar bin Al-Khattab, Ali bin Abi Thalib, Absullah bin
Mas;ud, dan Abdullah bin Abbas demikian pula Abdullah bin Umar, mereka
tergolong kritikus hadis, penilaian hadis yang mereka lakukan terfokus pada matan
hadis.[5]
Pada masa sahabat juga telah dilakukan upaya meneliti materi
hadis dengan cara mencocokkannya kembali apa yang pernah didengar sendiri dari
Nabi, kemudian membandingkannya dengan Al-Qur’an.
Pada masa tabi’in setidaknya ada tiga bentuk upaya yang
dilakukan dalam menjaga otentitas hadis. Pertama, dilakukannya
kodifikasi hadis oleh al-Zuhri atas perintah Umar bin Abdul al-‘Aziz. Kedua,
lahirnya ilmu kritik hadis dalam arti sesugguhnya. Ini berdasarkan pada
pendapat Ibn Rajab yang mengatakan bahwa Ibn Sirin karena keluasan ilmunya,
merupakan pelopor dalam kritik rawi. Ketiga, diawali oleh beberapa orang
sahabat, semisal jabir, pada periode ini terdapat semangat pelacakan hadis yang
sungguh luar biasa. Untuk meneliti satu hadis saja, mereka sampai keluar
daerahnya.[6]
Masa atba’ al-tabi’in (periode ketiga sebagai periode
penyempurnaan/ masa keemasan) merupakan masa yang paling berkembang. Sejak masa
itu, dimulailah era mempelajari hadis dari beberapa, bahkan konon
mencapai ratusan ribu syekh di seluruh dunia Islam akibatnya, kritik hadis tak
lagi terbatas pada ulama setempat, melainkan diseluruh tempat. Dalam melakukan
kritik matan, mereka merasa lebih ditakuti atau dibenci orang dikritik
dari pada disesali Nabi di akhirat nanti.
Di penghujung abad ke-2 H dimulailah penelitian kritik hadis
mengambil bentuk sebagai ilmu hadis teoritis dan praktis. Imam Syafi’i yang
pertama mewariskan teori-teori ilmu hadisnya secara tertulis sebagaimana
terulis dalam karya monumentalnya ar-Risalah (kitab ushul fikih) dan
al-umm (kitab fikih).[7]
B.
Metodologi Kritik Matan Hadis ( Kaidah Mayor dan
Kaidah Minor )
Metodologi kritik matan bersandar pada kriteria hadis
yang diterima (maqbul, yakni yang shahih dan hasan), atau matan tidak
jangkal (syadz) dan tidak memiliki cacat (illat). Untuk itu metodologi
yang digunakan atau dikembangkan untuk kritik matan adalah metode
perbandingan dengan menggunakan pendekatan rasional. Metode tersebut, terutama
perbandingannya, telah berkembang sejak masa sahabat. Dalam menentukan
otentitas hadis, mereka melakukan studi perbandingan dengan al-Qur’an, sebagai
sumber yang lebih tinggi, perbandingan dengan hadis yang lain mahfuzh,
juga dengan kenyataan sejarah. Bila terjadi pertentangan, maka hadis yang
bersangkutan dicoba untuk di-takwil atau di-takhsish, sesuai sifat
dan tingkat pertentangan, sehingga dikompromikan satu dengan yang lain. Tetapi
jika tetap tidak bisa maka dilakukan tarjih dengan mengamalkan yang
lebih kuat.[8]
Menurut Shalahuddin al-Dhabi, urgensi obyek studi kritik matan
tampak dari beberapa segi, di antaranya :
1. Menghindari sikap kekeliruan (tasahhul)
dan berlebihan (tasyaddud) dalam meriwayatkan suatu hadis karena adanya
ukuran-ukuran tertentu dalam metodologi kritik matan.
2. Menghadapi kemungkinan adanya
kesalahan pada diri periwayat.
3. Menghadapi musuh-musuh Islam yang
memalsukan hadis dengan menggunakan sanad hadis yang shahih, tetapi matan-nya
tidak shahih
4. Menghadapi kemungkinan terjadinya
kontradiksi antara beberapa periwayat.[9]
Selanjutnya, masih menurutnya, ada
beberapa kesulitan dalam melakukan penelitian terhadap obyek studi kritik matan,
yaitu :
a. Minimnya pembicaraan mengenai kritik
matan dan metodenya.
b. Terpencar-pencarnya pembahasan
mengenai kritik matan
c. Kekhawatiran terbuangnya sebuah
hadis.[10]
Jika melihat kembali sosio-historis
perkembangan hadis, maka akan ditemukan banyak problem di seputarnya. Di
antaranya, banyak upaya pemalsuan hadis dan sebagainya. Hal ini disebabkan oleh
beberapa hal, di antaranya adalah kesenjangan, baik itu untuk menyerang dan
menghancurkan Islam, maupun untuk pembelaan terhadap kepentingan kelompok atau
golongan, atau ketidak-sengajaan, seperti kekeliruan pada diri periwayat, dan
lain-lain.[11]
Ulama ahli hadis sepakat bahwa unsur-unsur yang harus
dipenuhi oleh suatu anmat hadis yang berkualitas shalih ada dua macam,
yaitu terhindar dari syuzuz
( kejanggalan) dan terhindar dari illat (cacat). Apabila mengacu pada
pengertian hadis sahih yang dikemukakan oleh ulama, sebagaimana
telah disebutkan terdahulu, maka dapat dinyatakan bahwa kaidah mayor bagi
kesahihan matan hadis adalah 1). terhindar dari syuzuz dan 2).
terhindar dari ‘illat. Syuzuz dan ‘illat selain
terjadi pada sanad juga terjadi pada matan hadis.[12]
Dari keberagaman tolok ukur yang ada, terdapat unsur-unsur
yang oleh Syuhudi Ismail merumuskan dan mengistilahkannya dengan kaedah minor
bagi matan yang terhindar dari syuzuz dan ‘illat.[13]
Adapun kaedah minor bagi matan
yang terhindar dari syuzuz adalah :Pertama. Matan bersangkutan tidak menyendiri,
kedua. Matan hadis tidak bertentangan dengan hadis yang
lebih kuat.Ketiga, Matan hadis itu tidak bertentangan dengan Al-Qur’an.
Keempat, matan hadis itu bertentangan dengan akal sehat, indera dan sejarah.[14]
Adapun kaedah minor yang tidak
mengandung ‘illat adalah : Pertama, matan hadis tidak mengandung idraj
(sisipan). Kedua, matan hadis tidak mengandung ziyadah (tambahan)
ketiga, matan hadis tidak mengandung maqlub (pergantian lafaz
atau kalimat) Keempat, matan Tidak terjadi idhthirab
(pertentangan yang tidak dapat dikompromikan). Kelima, tidak terjadi kerancuan
lafaz dan penyimpangan makna yang jauh dari matan hadis itu.[15]
C.
Langkah-Langkah Dalam Melakukan Kritik Matan Hadis
Bustamin dalam bukunya Metodologi Kritik Hadis, lima langkah
yang harus ditempuh dalam rangka mengkritik sebuah matan hadis yaitu :
1.
Menghimpun hadis-hadis yang
terjalin dalam tema yang sama.
Yang
dimaksud dengan hadis yang terjalin dalam tema yang sama adalah Pertama,
hadis-hadis yang mempunyai sumber sanad dan matan yang sama, baik
riwayat bi al-lafzh maupun melalui riwayat riwayat bi al-ma’na. Kedua,
hadis-hadis mengandung makna yang sama, baik sejalan maupun bertolak belakang, Ketiga,
hadis-hadis yang memiliki tema yang sama, seperti tema aqidah, ibadah, dan
lainnya. Hadis yang pantas dibandingkan adalah hadis yang sederajat kualitas sanad
dan matannya. Perbedaan lafad pada matan hadis yang
semakna ialah karena dalam periwayatan secara makna (al-riwayah bi al-ma’na).
Menurut muhadditsin, perbedaan lafazh yang tidak mengakibatkan perbedaan makna,
dapat ditoleransi asalkan sanad dan matannya sama-sama sahih.[16]
2.
Kesahihan Penelitian matan
hadis dengan pendekatan hadis
Sekiranya
kandungan suatu matan hadis bertentangan dengan matan hadis
lainnya, menurut Muhadditsin perlu diadakan pengecekan secara cermat. Sebab,
Nabi Muhammad SAW tidak mungkin melakukan perbuatan yang bertentangan dengan
perkataan yang lain, demikian pula dengan al-Qur’an. Pada dasarnya, kandungan matan
hadis tidak ada yang bertentangan, baik dengan hadis maupun dengan al-Qur’an.
Hadis
yang pada akhirnya bertentangan dapat diselesaikan melalui pendekatan ilmu
mukhtalifu al-hadis. Imam Syafi’i mengemukakan empat jalan keluar: pertama,
mengandung makna universal (mujmal) dan lainnya terperinci (mufassar),
kedua, mengandung makna umum (am) dan lainnya khusus, ketiga,
mengandung makna penghapus (al-naikh) dan lainnya dihapus (mansukh),
keempat, kedua-duanya mungkin dapat diamalkan.
Untuk
menyatukan suatu hadis yang bertentangan dengan hadis lainnya, diperlukan
pengkajian yang mendalam guna menyeleksi hadis yang bermakna universal dari
yang khusus, hadis yang naskh dari yang mansukh.[17]
3.
Penelitian matan hadis
dengan pendekatan al-Qur’an
Pendekatan
ini dilatarbelakangi oleh pemahaman bahwa al-Qur’an adalah sebagai sumber
pertama atau utama dalam Islam untuk melaksanakan berbagai ajaran, baik yang
ushul maupun yang furu’, maka al-Qur’an haruslah berfungsi sebagai penentu
hadis yang dapat diterima dan bukan sebaliknya. Hadis yang tidak sejalan dengan
al-Qur’an haruslah ditinggalkan sekalipun sanadnya sahih.
Cara
yang ditempuh mereka untuk meloloskan matan hadis yang kelihatannya
bertentangan dengan teks al-Qur’an adalah dengan menta’wil atau menerapkan ilmu
mukhtalif al-hadis. Oleh karena itu, kita akan kesulitan menemukan hadis
yang dipertentangkan dengan al-Qur’an dalam buku-buku hadis atau hadis sahih
dari segi sanad dan matannya dibatalkab karena bertentangan
dengan al-Qur’an.[18]
4.
Penelitian matan hadis
dengan pendekatan bahasa
Pendekatan bahasa dalam upaya mengetahui kualitas hadis
tertuju pada beberapa obyek:
Pertama, struktur bahasa, artinya apakah
susunan kata dalam matan hadis yang menjadi obyek penelitian sesuai
dengan kaedah bahasa Arab. Kedua, kata-kata yang terdapat dalam matan
hadis, apakah menggunakan kata-kata yang lumrah dipergunakan bangsa Arab pada
masa Nabi Muhammad atau menggunakan kata-kata baru, yang muncul dan
dipergunakan dalam literatur Arab Modern ?. Ketiga, matan hadis
tersebut menggambarkan bahasa kenabian. Keempat, menelusuri makna
kata-kata yang terdapat dalam matan hadis, dan apakah makna kata
tersebut ketika diucapkan oleh nabi Muhammad sama makna dengan yang dipahami
oleh pembaca atau peneliti.[19]
5.
Penelitian matan dengan
pendekatan sejarah
Salah
satu langkah yang ditempuh para muhadditsin untuk penelitian matan hadis
adalah mengetahui peristiwa yang melatarbelakangi munculnya suatu hadis (asbab
al-wurud haditsi). Langkah ini mempermudah memahami kandungan hadis. Fungsi
azhab al-wurud hadits ada tiga. Pertama, menjelaskan makna hadis. Kedua,
mengetahui kedudukan Rasulullah pada saat kemunculan hadis apakah sebagai
rasul, sebagai pemimpin masyarakat, atau sebagai manusia biasa. Ketiga,
mengetahui situasi dan kondisi masyarakat saat hadis itu disampaikan.[20]
Salah
satu contoh matan hadis yang dianggap oleh sebagian ulama bertentangan
dengan fakta adalah, hadis yang terdapat dalam sahih Bukhari yang berbunyi :
“......Orang
Islam tidak dibunuh karena membunuh orang kafir.”
Dikalangan
ulama ada yang tidak mengamalkan hadis ini. Diantaranya adalah Abu Hanifah. Ia
menolak hadis ini bukan karena sanadnya lemah, tetapi ia menolaknya
karena hadis ini dianggap bertentangan dengan sejarah. Di dalam sejarah
disebutkan bahwa apabila kaum kafir memerangi kaum muslimin, maka kaum muslimin
diperintahkan memeranginya. Jika ia terbunuh, tidak ada hukum apapun atas
pembunuhan itu. Berbeda dengan ahlu al-zimmi (orang kafir yang terikat
perjanjian dengan kaum muslimin). Apabila seseorang membunuhnya, maka ia
dijatuhi hukum qishahs.[21]
Hadis
yang diteliti tidak memenuhi kriteria kesahihan hadis, baik dari segi sanad maupun
dari segi matan. Dari segi sanad hadis diatas bersifat
mauquf tidak mencapai derajat marfu’ ( tidak disandarkan
kepada Nabi, hanya sampai sahabat ) dan dari segi matan dengan pendekatan
sejarah, hadis tersebut tidak menggambarkan praktik hukum dari Rasulullah SAW.[22]
BAB III
KESIMPULAN
A.
KESIMPULAN
Berdasarkan
pembahasan di atas, penulis dapat menarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Kritik matan hadis adalah
kegiatan yang mempunyai cara-cara sistimatis dalam mengkaji dan menelusuri
kebenaran suatu hadis, sehingga ditemukan status hadis sahih dan tidak sahih
dari segi matannya, ini juga dimaksudkan sebagai pengecekan kembali
kebenaran sumber hadis yang disandarkan kepada Nabi tersebut memang berasal
dari nabi atau tidak dan kegitan kritk matan memang sudah ada sejak
zaman Nabi masih hidup
2. Metodologi kritik matan hadis
(kaidah mayor dan kaidah minor) adalah:
a. Kaidah mayor bagi kesahihan matan
hadis adalah 1). Terhindar dari syuzuz dan 2). Terhindar dari ‘illat.
Syuzuz dan ‘illat selain terjadi pada sanad juga
terjadi pada matan hadis.
b. Adapun kaedah minor bagi matan
yang terhindar dari syuzuz adalah :
1) Matan hadis bersangkutan tidak menyendiri,
2) Matan hadis itu tidak bertentangan dengan hadis
yang lebih kuat,
3) Matan hadis itu tidak bertentangan dengan
Al-Qur’an,
4) Matan hadis itu tidak bertentangan dengan
akal sehat, indera dan sejarah
c. Adapun kaedah minor yang tidak
mengandung ‘illat adalah :
1) Matan hadis tidak mengandung idraj
(sisipan),
2) Matan hadis tidak mengandung ziyadah
(tambahan),
3) Matan hadis tidak mengandung maqlub (pergantian
lafaz atau kalimat),
4) Tidak terjadi idhthirab
(pertentangan yang tidak dapat dikompromikan),
5) Tidak terjadi kerancuan lafaz dan
penyimpangan makna yang jauh dari matan hadis itu.
3. Langkah-langkah dalam melakukan
kritik matan hadis adalah:
a. Menghimpun hadis-hadis yang terjalin
dalam tema yang sama
b. Penelitian matan hadis dengan
pendekatan hadis sahih
c. Penelitian matan hadis dengan
pendekatan al-Qur’an
d. Penelitian matan hadis dengan
pendekatan bahasa
e. Penelitian matan dengan
pendekatan sejarah
B.
Saran
Penulis berharap makalah ini dapat menambah wawasan bagi
seluruh Mahasiswa khususnya para pembaca agar tergugah untuk terus dapat
meningkatkan pengetahuan tentang kritik matan hadist, dan dapat menambah
pengetahuan bagi rekan-rekan mahasiswa. Demi penyempurnaan makalah ini, Kami
mengharapkan kritik dan saran yang konstruktif.
C.
DAFTAR
PUSTAKA
Ahmad , Arifuddin, Paradigma
Baru Memahami Hadis Nabi, Jakarta: Renaisan, 2005
Ahmad al-Dhabi, Shalahuddin, Manhaj
Naqd al-Matn ‘inda Ulama al-Hadis al-nabawi. Terj. M. Qodirun Nur dan
Ahamad Musyafiq, Kritik Metodologi Hadits, Jakarta: Gaya Media Pratama,
2004
Bustamin, M. Isa H. A. Salam, Metodologi
Kritik Matan, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004, h.
Muh. Zuhri, Hadis Nabi Telaah
Historis dan Metodologis. Cet.II; Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2003
Ismail, M. Syuhudi, Kaedah
Kesahihan Sanad Hadis Telaah Kritis dan Tinjauan Dengan Pendekatan ilmu Sejarah,
Jakarta: Bulan Bintang, 2005
Ismail, M. Syuhudi , Hadits
Nabi Menurut Pembela, Penginkar dan Pemalsunya, Cet.I; Jakarta: Gema Insani
Press, 1995
Kamil, Sukron, Naqd Al-Hadis,
terj. Metode Kritik Sanad dan Matan Hadis, Pusat Penelitian Islam
Al-Huda, 2000
Munawwir, Ahmad Wirson, Kamus
Al-munawwir Arab Indonesia Terlengkap, Yogyakarta: Unit PBIK PP
Al-Munawwir, 1984
Poerwadarminta, W.J.S., Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1976.
[2] Bustamin, M. Isa H. A. Salam, Metodologi Kritik
Matan, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004, h.59-60
[3] Ibid. h. 60
[4] Sukron Kamil, Naqd Al-Hadis, terj. Metode Kritik
Sanad dan Matan Hadis, Pusat Penelitian Islam Al-Huda, 2000, h . 34
[5] Ibid, h. 35
[6] Bustamin, M. Isa H. A. Salam, Metodologi Kritik
Matan, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004, h. 61
[7] Ibid, h. 61
[8] Ibid, h
[9] Shalahuddin Ibn Ahmad al-Dhabi, Manhaj Naqd al-Matn ‘inda
Ulama al-Hadis al-nabawi. Terj. M. Qodirun Nur dan Ahamad Musyafiq, Kritik
Metodologi Hadits, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2004, h. 7
[11] Shalahuddin Ibn Ahmad al-Dhabi, Manhaj Naqd al-Matn ‘inda
Ulama al-Hadis al-nabawi. Terj. M. Qodirun Nur dan Ahamad Musyafiq, Kritik
Metodologi Hadits, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2004, h. 7
[12] Arifuddin Ahmad, Paradigma Baru Memahami Hadis Nabi, h.
109. Lihat juga M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabawi,
Jakarta: Bulan Bintang, 2007, h. 117
[13] M. Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahahihan Sanad Hadits;
Telaah kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Sejarah (cet . II; Jakarta:
Bulan Bintang, 1995), h.145-149.
[16] Bustamin, M. Isa H. A. Salam, Metodologi Kritik
Matan, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004, h.64-65
[17] Ibid, h. 68
[18] Bustamin, M. Isa H. A. Salam, Metodologi Kritik
Matan, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004, h. 71
[19] Bustamin, M. Isa H. A. Salam, Metodologi Kritik
Matan, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004, h. 76
[20] Ibid, h 87
[21] Ibid, h.
[22] Ibid, h.