DEFINISI & KERANGKA
BERPIKIR
Apa itu ‘definisi’?
Untuk bisa menerangkan
konsep saya tentang ‘definisi’, saya tidak akan langsung mendefinisikannya.
Akan lebih mudah bila saya menerangkannya begini saja: Definisi akan sesuatu
itu, ternyata berisi tentang apakah sesuatu itu, gambaran tentang sesuatu itu,
cakupan, serta batasannya. Secara eksplisit, tidak semua definisi memiliki
semua poin yang saya paparkan barusan. Namun bila pembaca mau mencermati
baik-baik, secara tersirat definisi sudah mencakup keempat poin tadi.
Nah, sekarang kita masuk ke ‘kerangka berpikir’ atau
‘paradigma’.
Kerangka berpikir seseorang
dibangun oleh apa yang digunakannya sebagai ‘bata-bata definisi’. Contohnya
begini: kalau sejak awal yang seseorang definisikan sebagai ‘warna hitam’
adalah warna merah yang kita kenal, maka setiap kali melihat warna merah, dia
akan mengenalinya sebagai ‘warna hitam’. Tak peduli orang lain mau
berteriak-teriak di telinganya hingga hilang akal, kalau dia mendefinisikan
‘warna hitam’ adalah warna merah yang kita kenal, malah dia yang akan
menganggap orang lain gila.
Setiap orang memakai atau
membuat definisinya sendiri. Itulah yang terjadi di dunia ini, disadari atau
tidak. Namun dunia ini tidak sampai kacau karena ada ‘bata-bata definisi’ dasar
yang bisa dimengerti dan diterima oleh banyak orang. Kenapa? Karena ‘bata-bata
definisi’ itulah yang dialami oleh setiap orang. Contohnya begini: lewat
pengalaman, akhirnya setiap orang mengetahui bahwa dia pasti jatuh terhempas
kuat ke tanah, bila dia terjatuh/melompat dari atap sebuah gedung. Tak peduli
dia orang baik ataupun orang jahat. ‘Bata-bata definisi’ dasar inilah yang
biasa kita sebut ‘hukum (alam)’.
Seiring dengan
perkembangan kebudayaan manusia, ‘definisi’ makin intens diteliti, sehingga
struktur yang ada dalam definisi itu terungkap dengan gamblang. Manusiapun
makin mengerti tentang definisi dasar dan turunannya yang terjadi pada diri,
lingkungan, tempat hidup, dan keseharian mereka. Dengan mengenali definisi yang
berlaku pada (atau yang digunakan oleh) diri mereka, manusia makin mengenali
diri mereka sendiri. Bisa dikatakan, sedikit banyak definisi-definisi inilah
yang ‘membentuk’ seseorang.
[Tapi di sini saya tidak
sedang berupaya untuk mendefinisikan manusia. Manusia masih terlalu kompleks
untuk bisa saya definisikan sendiri. Oleh karena itu, saya menggunakan definisi
yang diberikan oleh pencipta manusia saja.]
Saya akan memberi sebuah
contoh berkenaan dengan pengaruh definisi terhadap kerangka berpikir seseorang.
Saya pernah menemui orangtua yang sedikit-sedikit menyebut anaknya bodoh. Mulai
dari karena anaknya tidak terlalu pandai dalam matematika, hingga karena
anaknya ceroboh dalam membawa piring makannya, sehingga terjatuh dan pecah.
Kalau hanya itu saja, mungkin kondisi anaknya sedikit ‘lebih baik’. Tapi beliau
menambahkan ucapan bodohnya dengan entah cubitan, tempelengan, atau dorongan
keras. Terlalu emosional nampaknya orangtua kita yang satu ini.
Bila anda sempat melihat
tulisan Bodoh vs Bijaksana, anda bisa melihat bahwa beliau memiliki definisi
‘bodoh’ yang kabur, tidak terlalu jelas. Saat anaknya dinilai tidak terlalu
pandai dalam matematika, wah, yang ini sih sudah jelas: si Anak tidak terlalu
pandai dalam matematika. Si Anak bukannya bodoh. Dia (sudah tertulis jelas dari
tadi) hanya tidak terlalu pandai matematika (atau mungkin malah belum saja?).
Mungkin si Anak hanya perlu diajari matematika dengan metode lain.
Saat anaknya kurang
hati-hati membawa piring, beliau menyebutnya bodoh lagi. Padahal yang terjadi
adalah anaknya ceroboh, belum tentu bodoh. Kalau ‘tidak pandai’ dan ‘ceroboh’
disamakan dengan ‘bodoh’, saya curiga bahwa yang didefinisikan beliau sebagai
‘bodoh’ adalah segala hal yang dianggap tidak beres dari anaknya. Kesimpulan
beliau: anaknya memang bodoh (karena apa yang dilakukannya tidak ada yang
beres/sempurna). Padahal mah, rasanya pemahaman beliau tentang kata ‘bodoh’ dan
anak yang perlu diperbaiki. Hm...hm...hm... Oke, saya memang belum menikah
apalagi menjadi orangtua. Tapi tanpa pengalaman itupun saya mengerti bahwa
seorang anak adalah seorang anak. Kalau kita mengharapkan seorang anak bisa melakukan
segalanya segera setelah lahir, apa gunanya orangtua dan pendidikan kalau
begitu?
Kembali ke masalah
definisi. Melalui contoh barusan, saya ingin menyampaikan tentang pentingnya
kita mengecek definisi yang kita gunakan sebagai landasan berpikir. Saat
definisinya kabur, tidak jelas batasannya, pikiran kita akan sulit mengenali
perbedaan antara dua hal. Ibaratnya mata kita menderita rabun jauh, tapi
kacamata yang kita gunakan adalah untuk yang rabun dekat. Mana bisa kelihatan?
Kerangka berpikir kita pun terbentuk tidak dengan baik, tidak tertata, bahkan
kacau. Ujung-ujungnya, persepsi kita keliru, kesimpulan kita jauh dari benar.
Dan sayangnya, karena kita bertindak menurut apa yang ada dalam pikiran kita.
Jadi tindakan kita bisa menjadi tidak tepat atau keliru.
Selain mengecek definisi
yang kita gunakan, kita juga harus mengecek sejauh mana kita memahami definisi
itu. Kita harus betul-betul cermat tidak hanya pada definisinya, tapi juga pada
pemahaman kita akan definisi itu. Bisa saja kita menggunakan definisi yang
benar, tapi pemahaman kita keliru. Itu sama saja dengan ‘membuat definisi
sendiri’.
Sebagai penutup, saya
ingin bercerita sedikit. Belakangan ini saya dibanjiri ide dan ilham yang
berkaitan dengan dua kata, ‘definisi’ dan ‘kerangka berpikir’. Beberapa
pemikiran berputar di kepala saya, siap untuk ditulis. Beberapa tulisan saya
setelah ini mungkin tidak memiliki topik yang serupa. Tapi benang merahnya
jelas: semuanya berkaitan erat dengan bagaimana kita menggunakan dan memahami
definisi serta kerangka berpikir yang dihasilkannya. Tunggu saja. Dan anda akan
melihat benang merahnya. Semoga...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar