Merayakan Keseluruhan:
Menjajaki Paradigma Holistik dalam Kehidupan Sosial
AWALUDDIN, S.Kom.I
Abstraksi
Pandangan-dunia modern adalah logika keterpilahan dan keterpisahan
serta subjektivisme-antroposentrisme. Secara filosofis, peradaban modern
disinari paradigma Cartesian-Newtonian[3].
Suatu pandangan dunia
mekanistik-deterministik-reduksionistik-atomistik-
instrumentalistik-linearistik, yang menempatkan manusia sebagai bagian
(parsial), sebagai pusat sesuatu secara keseluruhan. Manusia modern
adalah nonpartisipan dalam menjalani kehidupan. Manusia modern adalah
manusia yang teralienasi dan manusia ter-reifikasi. Manusia modern
adalah manusia yang tanpa dunia-organis. Peradaban modern mewariskan,
salah satunya, persoalan dualitas.
Rene
Descartes (1596-1650), Bapak Filsafat Modern, dianggap orang yang kali
pertama sukses membangun sistem filsafat secara sistematis dalam
keterpilahan antara jiwa dan tubuh atau res cogitans dan res extensa.
Pandangan Descartes diikuti maupun dikukuhkan oleh Sir Isaac Newton
(1642-1727). Dalam perkembangannya, pandangan dualisme bersifat
linear-deterministik-reduksionistik-atomistik- instrumentalistik.
Pandangan ini melihat segala sesuatu secara serba terpilah dan
dikotomis. Realitas yang kompleks, kesalinghubungan dipandang hanya
sebagai kumpulan balok atom. Layaknya puzzle realitas dicopot satu per satu, kemudian dari pengamatan terpilah tersebut digabungkan, dan kemudian dikuantifikasikan.
Pandangan
tersebut sejatinya, selain gagal dalam menangkap realitas secara utuh
atau holisitik, pandangan ini, yang kemudian dikenal dengan paradigma
Cartesian-Newtonian[4],
turut menyumbangkan krisis kompleks dan multidimesional. Seperti,
krisis ekologis, kekerasan, dehumanisasi, moral, kriminalitas,
kesenjangan sosial yang kian menganga, serta ancaman krisis lainnya.
Tulisan berikut berusaha menyoal itu. Dari mana pandangan-dunia modern
mengakar? Apa saja implikasi dari pandangan ini? Kenapa pandangan ini
tidak mampu membingkai realitas secara utuh dan menjawab persoalan
secara holistik? Kemudian, mengingat paradigma tersebut muncul kali
pertama pada ranah sains, bagaimana implikasi paradigma holistik pada
ranah sosial, baik itu mulai dari ilmu-ilmu sosial (social sciences/studies) hingga kehidupan harian atau sosial?
Katakunci: alienasi, reifikasi, dualisme, worldview (pandangan-dunia), keseluruhan, modern.
Pengertian Modern Dan Tradisional
Mengingat pengertian modern dan tradisional merupakan akar tunjang
tulisan berikut, maka perlu mencarikan pengertian kedua hal tersebut
untuk menjadikan dasar pembahasan.
Modern
dan tradisional, tidak seperti yang selama ini diperkirakan, bukanlah
suatu gambaran mengenai waktu atau zaman, melainkan suatu
pandangan-dunia.
Sedangkan
untuk memberikan gambaran mengenai waktu atau zaman, yaitu klasik atau
kontemporer. Itu pun kalau kita menerima begitu saja pengertian klasik
dan kontemporer seperti yang dibatasi pengertian sekarang.
Bagaimanapun
juga, untuk mengatakan bahwa hal tersebut sudah usang, kuna,
ketinggalan zaman, tidak sesederhana yang diasumsikan selama ini. Ia
menggunakan batasan-batasan atau standarisasi yang ditetapkan terlebih
dahulu untuk menurunkan suatu kesimpulan mengenainya. Dan hal tersebut
merupakan persoalan konsensus, yang mana boleh jadi tidak bisa diterima
secara puas dan tuntas. Betapapun, tulisan ini tak mempunyai kepentingan
akan bagaimana kita menentukan batasan mengenai suatu hal bisa disebut
sebagai klasik atau kontemporer. Tulisan ini mempunyai kepentingan dalam
persoalan bahwa tidaklah tepat untuk mengatakan bahwa modern dan
tradisional merupakan gambaran mengenai suatu zaman atau waktu,
melainkan suatu pandangan-dunia atau paradigma. Untuk kemudahan, kalau
pun kita tetap terpaksa menggunakan kata-kata tersebut dalam
menggambarkan suatu zaman atau kondisi waktu, maka haruslah diberikan
imbuhan akhiran “as”: “modernitas” dan “tradisionalitas”, untuk
membedakan antara gambaran mengenai suatu zaman dan pandangan-dunia.
Peradaban Modern
“Peradaban
modern yang dibangun sejak abad ke-17 M tidak mungkin dapat dipahami
tanpa mengenal paradigma Cartesian-Newtonian. Karakter peradaban modern
dicirkan dengan meluas dan mendalamnya pengaruh paradigma
Cartesian-Newtonian terhadap cara-pandang, pola pikir, visi, dan sistem
nilai manusia modern pada umumnya …. hegemoni paradigma
Cartesian-Newtonian terhadap pandangan-dunia manusia modern terkait erat
dengan kenyataan sejarah bahwa peradaban modern memang dibangun atas
dasar ontologi, kosmologi, epistemologi, dan metodologi yang dicanangkan
oleh dua tokoh utama penggerak modernisme, yaitu Rene Descartes dan
Isaac Newton (Heriyanto, 2003: 25-26).”
Modernisme adalah suatu pandangan dunia yang secara historis dibangun
pada fondasi filsafat Cartesian-Newtonian. Sebagai filsafat, tentu saja
fondasi tersebut mengandung asumsi ontologis, epistemologis dan
aksiologis khas. Yang dari ketiga basis filosofis tersebut,
ditentukanlah konsep mengenai kosmologi, moralitas, etika, kehidupan
sosial, ekonomi, keberagamaan, politik, kultural, realitas sosial,
psikologis, dll.
Ontologi
Pada tataran ontologis, ontologis modern ialah dualistik. Suatu cara
pandang mengenai realitas secara terpilah dan terpisah. Tentu saja,
persoalan dualistik pada tataran ontologi merupakan hal yang tua dalam
sejarah manusia itu sendiri. Sejauh yang tercatat pada bukti material,
hal tersebut dimulai oleh Plato (427-347 SM), yang mengajukan pendapat
bahwa kehidupan dunia adalah kehidupan semu, tidak riil, sekadar
bayangan dari “dunia-atas”. Yang riil ialah yang berada pada alam ide.
Hal ini kelak disebut sebagai “Alam Ide Plato”. Kendati
demikian, hal tersebut mendapatkan titik kulminatifnya pada sistem
filsafat yang dibangun oleh Rene Descartes. Dan, tentu saja bukan tanpa
sebab jika Descartes disebut sebagai Bapak Filsafat Modern oleh para
pakar sejarah filsafat.
Ontologi Cartesian
Memahami pandangan-dunia modern akan gagal jika melepaskan dari
pemikiran Descartes dan, pada kelanjutannya, Isaac Newton. Descartes,
dikenal dengan kesangsian-metodisnya. Di mana ia meragukan segala hal
realitas yang datang kepadanya, baik itu bersifat eksternal (alam,
misalnya) maupun internal (tubuhnya, misalnya). Selain itu, ia juga
berpendapat untuk perlunya menolak suatu hal yang datang dari tradisi
dan otoritas dengan menempatkan rasio subjek sebagai pijakan. Baginya,
selain bahwa tradisi tidak mampu membawa dirinya kepada keyakinan,
tradisi juga malah menjebak kita pada kesalahan.
“I
learned to entertain too decided a belief in regard to nothing of the
truth of which I had been persuaded merely by example and custom; and
thus I gradually extricated myself from many errors powerful enough to
darken our natural intelligence, and incapacitate us in great measure
from listening to reason (Descartes, 1635).”
Dari pemaparan dan penjelasannya dalam Discourse on the Method,
kita bisa mengerti dengan baik mengapa pada akhirnya Descartes sangat
menekankan fungsi aktivitas rasio subjek. Yang juga kelak pada akhirnya,
dengan rasio-subjek tersebutlah ia membangun prinsip filsafat
pertamanya: Cogito ergo sum.
“….seeing that our senses sometimes deceive us, I was willing to suppose that there existed nothing really such as they presented to us; and because some men err[or] in reasoning, and fall into paralogisms, even on the simplest matters of geometry, I, convinced that I was as open to error as any other, rejected as false all the reasonings I had hitherto taken for demonstrations; and finally, when I considered that the very same thoughts (presentations) which we experience when awake may also be experienced when we are asleep, while there is at that time not one of them true, I supposed that all the objects (presentations) that had ever entered into my mind when awake, had in them no more truth than the illusions of my dreams. But immediately upon this I observed that, whilst I thus wished to think that all was false, it was absolutely necessary that I, who thus thought, should be somewhat; and as I observed that this truth, I think, therefore I am (cogito ergo sum), was so certain and of such evidence that no ground of doubt, however extravagant, could be alleged by the sceptics capable of shaking it, I concluded that I might, without scruple, accept it as the first principle of the philosophy of which I was in search (Descartes, ibid).
Filsafat Descartes ialah penekanan pada aktivitas rasio-subjek dan keterdahuluan eksistensi cogito tersebut terhadap realitas eksternal. Setelah memaparkan dan menjelaskan perihal kemendasarannya terhadap rasio (lihat Discourse on the Method [1635] dan Meditations on First Philosophy [1639]), Descartes sampai pada kesimpulan bahwa res cogitan dan res extensa merupakan
dua hal yang sama sekali terpisah. Tidak hanya terpisah, bahkan ia
mengatakan bahwa jiwa secara keseluruhan independen dari tubuh.
Keterpilahan tersebut merupakan konsekuensi logis dari dalil filsafat
pertamanya yang fenomenal itu: cogito ergo sum. Baginya, dalil tersebut merupakan pernyataan yang jelas (clearly) dan terpilah (distincly). Setiap hal yang jelas dan terpilah merupakan kebenaran, demikian Descartes.
“And as I observed that in the words I think, therefore I am, there is nothing at all which gives me assurance of their truth beyond this, that I see very clearly that in order to think it is necessary to exist, I concluded that I might take, as a general rule, the principle, that all the things which we very clearly and distinctly conceive are true….(Descartes, ibid).”
Pada
sisi lain, paham dualisme ini menimbulkan pola penalaran yang serba
dikotomis atau logika biner. Akibatnya, tidak hanya para saintis dan
filosof saja, melainkan masyarakat kebanyakan akan sulit untuk memahami
sesuatu jika lepas dari pola penalaran seperti ini. Sebagai misal, dalam
gerakan sosial, selalu saja terjebak pada bipolarisasi antara kaum Kiri
dan Kanan. Pada akhirnya, kedua polarisasi tersebut tidak mampu
membebaskan manusia dari dominasi kekuasaan modernitas, melainkan malah
teralienasi dan tereifikasi satu sama lain.
Kunci
untuk memahami bangunan filsafat Descartes terletak pada upaya
keraguannya terhadap segala sesuatu. Keraguan Descartes bukanlah
keraguan ala kaum skeptis, yang menolak pengetahuan mutlak yang bisa
direngkuh oleh manusia. Keraguan Descartes, malah justru sebaliknya,
keraguan untuk mendapatkan pemahaman yang meyakinkan tak tergoyahkan.
Dari keraguan metodis tersebut, ia menurunkan metodologinya yang dikenal
sebagai “empat metode universal”, yakni:
“The
first was never to accept anything for true which I did not clearly
know to be such; that is to say, carefully to avoid precipitancy and
prejudice, and to comprise nothing more in my judgement than what was
presented to my mind so clearly and distinctly as to exclude all ground
of doubt. The second, to divide each of the difficulties under
examination into as many parts as possible, and as might be necessary
for its adequate solution. The third, to conduct my thoughts in such
order that, by commencing with objects the simplest and easiest to know,
I might ascend by little and little, and, as it were, step by step, to
the knowledge of the more complex; assigning in thought a certain order
even to those objects which in their own nature do not stand in a
relation of antecedence and sequence. And the last, in every case to
make enumerations so complete, and reviews so general, that I might be
assured that nothing was omitted (Descartes, 1635).”
Tahap
pertama itu disebut prinsip intuisi kritis, tahap kedua ialah prinsip
analisis, tahap ketiga ialah prinsip sintesis, dan tahap keempat ialah
prinsip enumerasi (Heriyanto, 2003: 33-34). Selain itu, ia mengasumsikan
bahwa alam secara intrinsik bersifat matematis (mathematization of nature).
Dalam asumsi model ini, konsekuensi logisnya, alam dilihat secara
mekanis. Artinya, segala sesuatu dalam alam materi dapat diterangkan
dalam pengertian tatanan dan gerakan dari bagian-bagiannya.
Ontologi Newtonian
Isaac Newton dikenal sebagai Bapak Fisika Modern awal. Pandangan
fisikanya diperlakukan sebagai seluruh pijakan bangunan ilmu pengetahuan
ilmiah modern. Karenanya, mengkaji fisika Newtonian dalam memahami
peradaban modern tidak bisa diabaikan begitu saja. Membicarakan Newton,
artinya kita membicarakan sintesis ilmiah yang dilakukannya dari
berbagai sumber pandangan sains sebelumnya. Newton berhasil
menyintesiskan berbagai pandangan sains pendahulunya dengan apik dan
sistematis, sehingga bangunan fisikanya menjadi utuh. Menurut hasil kajian Sayyed Hossein Nasr, sintesis tersebut ialah,
“….such
as Descartes “Universal Science”, “the rules and methods outlined by
Francis Bacon, the cosmology and physics of Galileo, William Gilbert’s
theory af attraction between bodies, Kepler’s idea of force and innertia
and atomism with its roots in neo-Epicurian philosophy (Nasr, 1996: 140).”
Newton, dengan melakukan sintesis dari berbagai sumber tersebut, mengkomplitkan penciptaan sains-baru (new science)
yang menandai era baru sains: sains modern. Newton, seperti yang
disebutkan oleh Husain Heriyanto, menggabungkan mimpi visioner
rasionalisme Descartes dan visi empirisme Bacon, agar dapat
ditransformasikan ke dalam kehidupan nyata, melalui peletakan
dasar-dasar mekanika. Ia memadukan Copernicus, Kepler, dan Galileo di
bawah asumsi kosmologis Descartesian yang mekanistik, atomistik,
deterministik, linear, dan serba kuantitatif, dan pada saat yang sama,
ia menerapkan metode eksperimental-induktif Baconian (Heriyanto, 2003:
40).
Kosmologi Modern
Ketika dunia modern menganggap bahwa secara ontologis terdapat
pemisahan antara kesadaran dengan materi, maka alam dianggap sebagai
takberkesadaran dan tanmakna. Dengan demikian, kosmologi modern ialah
kosmologi yang kering. Ia juga menafikan jejak kreatif Tuhan (vestigia dei, ayat-ayat Allah, signs of God)
pada alam semesta. Padahal jejak Tuhan pada alam semesta merupakan
prinsip dasar pengetahuan tradisional secara umum, dan prinsip
religiusitas, secara khusus.
Konsekuensinya,
alam semesta dianggap sebagai benda mati, objek belaka, tidak lebih.
Dengan demikian, kosmologi modern memutuskan interkoneksitas jejaring
kehidupan antara manusia dengan alam dan dengan hal-hal transendental.
Pada akhirnya, tidak mengherankan jika kosmologi modern mengandung
asumsi aksiologis untuk menguasai segala sesuatu. Alam dipahami bukan
untuk mencari jejak kreatif dan makna kehidupan, melainkan untuk
dikuasai sedemikian rupa. Sehingga, seorang Francis Bacon mengatakan
bahwa sesungguhnya ilmu pengetahuan itu untuk menguasai (knowledge is power).
Fenomena pemanasan global (global warming),
dan krisis ekologis secara umum, merupakan implikasi logis atas sikap
manusia terhadap alam atau kosmologinya. Sampai sini bisa kita katakan,
bahwa krisis ekologis yang sangat fenomenal itu merupakan kesalahan
persepsi dalam kosmologi, dalam hal ini kosmologi modern.
Epistemologi Modern
Akibat
asumsi dari keterpilahan dan keterpisahan atas kesadaran dan materi,
maka dalam pandangan epsitemologi modern terdapat keterpilahan dan
keterpisahan juga antara subjek dengan objek. Epistemologi modern
menganggap bahwa objek dengan begitu saja dapat hadir di hadapan subjek,
tanpa samasekali terkait dengan subjek. Nilai objek bebas konstruksi
dari subjek. Hal ini yang kemudian membuat kalangan ilmuwan modern
menganggap bahwa ilmu pengetahuan bebas nilai.
Epistemologi
modern inilah yang membuat manusia dengan leluasa menyangkal akibat
buruk yang ditimbulkan oleh perkembangan ilmu pengetahuan pada berbagai
dimensi. Sebut saja krisis ekologis, dominasi destruktif pada berbagai
sektor: kemiskinan, dehumanisasi, dekadensi moral, alienasi dan
reifikasi pada kehidupan sosial, dll. Dalam pandangan-dunia modern,
krisis-krisis yang terjadi tidak bisa disalahkan pada manusia modern.
Sebab hal tersebut bebas dari campur tangan manusia. Manusia dan alam
sama sekali terpisah.
Keterpilahan
dan keterpisahan antara subjek dengan objek yang sejak awal digaungkan
dalam ranah filsafat dan sains, ironisnya malah menginfiltrasi ranah
sosial. Hal ini kelak disebut sebagai fisika sosial. Pada titik
puncaknya fisika sosial itu terjelmakan pada positivisme. Dalam
positivisme, kehidupan yang tidak hanya mengandung dimensi fisik,
melainkan dimensi nonfisik, katakanlah nilai-nilai kehidupan dan
maknanya, dihilangkan sedemikian rupa. Alasannya ialah, selama hal
tersebut tidak bisa dikuantifikasi dan diobservasi, maka tidaklah bisa
diketahui dan dipahami. Nyatalah bahwa kehidupan telah direduksi menjadi
sebagai fakta-fakta sosial yang tak berkesadaran dan tanmakna serta
bebas nilai.
Sebelumnya
ilmu pengetahuan ditujukan untuk menguasai alam, kini malah untuk
menguasai manusia atau mendominasi manusia. Kita bisa lihat dengan mudah
bahwa siapa yang mempunyai “kekuatan (ilmu pengetahuan)” maka ia bisa
mendominasi yang tak-berkekuatan (tak berilmu pengetahuan). Hal ini
merupakan akibat dari pemisahan antara subjek dan objek, yang pada
akhirnya juga membuat dikotomisasi seperti, “aku”-“yang lain”, yang
kuat-yang lemah, negara Dunia Pertama – negara Dunia Ketiga, bos-buruh,
dll.
Epistemologi
modern tidak hanya menciptakan bentuk hierarkis antara manusia dengan
alam, melainkan antara manusia dengan manusia. Hierarkis yang dibangun
dari suatu nilai dominasi yang dimiliki seseorang (subjek) terhadap
“yang lain” (objek). Pada sisi lain, keterpilahan dan keterpisahan
subjek dan objek mengandaikan kemandekan suatu hal. Objek dianggap sudah
jadi apa adanya, menafikan kedinamisan suatu hal.
Aksiologi Modern
Nilai-nilai
(aksiologis) modern ialah suatu nilai yang disandarkan pada
pandangan-dunia modern. Jika dalam pandangan-dunia modern bahwa semakin
mampu manusia menguasai alam, itu disebut sebagai kemajuan, maka nilai
aksiologinya ialah “menguasai alam merupakan hal yang baik”. Jika nilai
kehidupan manusia yang baik itu dipandang dari upaya kepemilikan, maka
aksiologinya ialah ukuran kebaikan hidup diukur dari seberapa banyak
kepemilikannya, kuantitas.
Sebagai
contoh, kapitalisme tidak bisa dipungkiri turut menciptakan dominasi
yang mengakibatkan segala kerusakan dan ketimpangan yang terjadi dalam
kehidupan. Dalam logika kapitalisme yang ada ialah akumulasi kapital.
Jika dalam mengakumulasikan kapital tersebut harus mengorbankan
kehidupan seseorang atau kerusakan alam, itu tidak jadi soal. Sebab
nilai yang ada ialah akumulasi kapital. Perusahaan Mc Donald, dalam
mengakumulasikan kapitalnya, telah menyebabkan hilangnya ribuan, bahkan
jutaan, hektar hutan hujan pada negara Dunia Ketiga. Ia menyebabkan
kebanjiran, gempa bumi, dan meningkatnya efek gas rumah kaca. Dan, pada
sisi lain, semakin tergusurnya wilayah pemukiman penduduk sekitar.
Setiap harinya Mc Donald menghabiskan banyak hutan hujan untuk membuka
ladang peternakan, memenuhi konsumsi hewan ternak, bahan pembungkus
makanan, dll. Walaupun kegiatan tersebut menimbulkan dampak yang sangat
signifikan bagi kehidupan, tetap saja Mc Donald dianggap sebagai ikon
waralaba hebat serta restoran keluarga yang friendly.
Kapitalisme
merupakan anak pandangan-dunia modern. Ini terlihat dari pola relasi
sosial yang dibangun oleh kapitalisme ialah “aku”-“yang lain”, serta
penekanannya pada akumulasi kapital (kepemilikan). Secara ontologis
kapitalisme bersifat atomistik, yaitu melihat individu sebagai atom
masyarakat-ekonomi. Seperti pandangan-dunia modern yang menghegemoni
masyarakat kebanyakan hingga zaman sekarang, kapitalisme juga menjadi
nilai rujukan kehidupan sosial, yakni pola relasi sosial untung-rugi.
Maka yang terjadi ialah sikap individualistik dalam kehidupan sosial.
Deritamu adalah deritamu, bukan deritaku. Segala hal yang tidak
memberikan keuntungan kapital pada “diriku”, maka tidak layak untuk
dijalani. Pada akhirnya, hilang semangat kolektivitas-swakelola dalam
masyarakat serta tegur sapa manusiawi.
Pandangan-Dunia Modern di tengah Perkembangan Mutakhir Sains
Asumsi-asumsi
ontologis, epistemologis, aksiologis dan kosmologis modern, selama
beberapa dasawarsa ini telah mengalami keguncangan hebat. Dasar-dasarnya
telah goyah, bahkan runtuh, oleh perkembangan sains itu sendiri.
Ontologi modern dalam perkembangan sains mutakhir mendapatkan kritikan
keras, bahwa persoalan dualistik menimbulkan problem-problem yang tidak
bisa terjawab. Dalam perkembangannya, dualisme-ontologis selalu jatuh
pada titik ekstrem. Yang satu menafikan kesadaran, hingga berkembanglah
asumsi filsafat materialisme dalam memahami dunia. Sedangkan yang lain,
jatuh pada penafian materialitas, sehingga hanya terpaku pada kesadaran,
yakni idealisme dan spritualisme. Padahal sejatinya, kedua hal tersebut
sama-sama eksis. Sama-sama saling mempunyai efek.
Pada
epistemologi modern, yang melihat subjek dan objek sebagai
keterpisahan, kini dipatahkan. “Prinsip ketidakpastian” Werner
Heisenberg cukup untuk mematahkan hal tersebut. Dalam pandangan
Heisenberg, materi apakah ia berperilaku sebagai partikel atau
gelombang, hal itu tergantung pada sang pengamat (subjek). Dengan
demikian, objek tidak bisa dilepaskan dari subjek. Subjek ikut
menentukan realitas. Subjek adalah partisipan, bukan sekedar pengamat
(nonpartisipan).
Pun
dalam kosmologi modern, yang menganggap kosmos sebagai takberkesadaran
dan tan-makna serta non-organis, dalam perkembangan fisika-baru, seperti
fisika bootstrap, membuktikan bahwa kosmos merupakan hal yang tidak
mati, melainkan hidup. Kosmos adalah jaringan organis, berkesadaran dan
bermakna.
Begitu
juga dengan aksiologi modern yang bersifat linear semakin menampakan
kebermasalahannya. Kemiskinan, kriminalitas, penyakit-penyakit baru,
krisis ekologis, dekadensi moral, dehumanisasi, adalah rangkaian problem
yang merupakan gejala global. Ia ada di mana-mana, baik itu pada negara
Dunia Pertama dan Ketiga. Padahalnya, seharusnya dalam logika linear,
permasalahan tersebut tidak akan terjadi ketika ilmu pengetahuan semakin
berkembang sedemikian rupa.
Karakter Kehidupan Modern
Peradaban modern ialah peradaban yang kehilangan makna dan
keterpesonaan akan hidup. Kehidupan modern dijalankan dengan cara
teralienasi dan tereifikasi antar manusia satu sama lain serta realitas
eksternal di luar dirinya. Manusia modern dalam menjalankan
kehidupannya, dicirikan dengan hilangnya kesadaran akan kesalinghubungan
dan kesalingtergantungannya satu sama lain, baik itu dengan manusia
maupun alam. Semuanya terpisah satu sama lain: pengamat dan yang
diamati. Tidak ada apa-apa di luar hal tersebut. Semuanya adalah objek.
Masyarakat modern ialah “masyarakat objek”.
Morris Berman menggambarkan bahwa lansekap modern ialah,
“The
story of modern epoch …. can be described as disenchantment,
nonparticipation, for it insists on a rigid distinction between observer
and observed. Scientific consciousness is alienated consciousness;
there is no ecstatic merger with nature, but rather total separation
from it. Subject and object are always seen in opposition to each other.
I am not my experiences, and thus not really a part of the world around
me. The logical end point of this world view is a feeling of total
reification: everything is an object, alien, not-me; and I am ultimately
an object too, an alienated “thing” in a world of other, equally
meaningless things. This world is not of my own making; the cosmos cares
nothing for me, and I do not really feel a sense of belonging to it.
What I feel, in fact, is a sickness in the soul (Berman, 1984: 2-3).”
Dengan
demikian, bisa dikatakan bahwa manusia modern ialah manusia alienasi
dan reifikasi. Gejala tersebut terjadi akibat dari cara-pandang yang
dualistik-atomistik-mekanistik-materialistik: subjek-objek, fakta-nilai,
manusia-alam, manusia-Tuhan, “aku”-”yang lain”, borjuis-proletar,
sakral-profan, suci-sekular, Timur-Barat, maju-terbelakang, pria-wanita.
Alienasi
adalah keadaan mental manusia yang ditandai oleh perasaan keterasingan
terhadap segala hal atau sesuatu; sesama manusia, alam, lingkungan,
Tuhan, bahkan terasing terhadap dirinya sendiri. Alienasi juga suatu
tanda kepasifan. Hal ini terkait dengan gejala reifikasi atau pembendaan
(obyektifikasi). Reifikasi adalah keadaan mental manusia modern
menghayati dirinya sendiri sebagai benda, objek. Segala sesuatu pada
akhirnya dilihat sebagai benda. Dunia reifikasi adalah dunia
keterasingan. Dunia keterasingan ialah dunia pasif.
Gejala
akut alienasi dan reifikasi serta sikap pasif dalam kehidupan manusia
modern, menyebabkan kehidupan sosial menjadi termediasi. Terpaku pada
representasi atau citra, tidak pada realitas itu sendiri. Gejala seperti
apa yang disebut oleh Guy Debord sebagai spectacle. Masyarakat modern ialah “masyarakat tontonan” (society of the spectacle).
Praktik-praktik,
untuk tidak menyebut semua, konsumerisme, kecemasan mendalam, hedonisme
pada kehidupan manusia modern sejatinya merupakan pelarian dari
bentuk-bentuk alienasi dan reifikasi serta kepasifan hidup. Orang akan
menemukan eksistensi dirinya ketika berbelanja, sebab ia sedang
mengobyektisasikan dan memediasikan dirinya terhadap citra-citra yang
ditawarkan oleh iklan. Karenanya bisa dimengerti ketika seseorang tidak
berbelanja—dalam konteks pemenuhan kebutuhan yang tidak dibutuhkannya
secara mendasar—ia merasa terasing dalam hidup, terasing terhadap di
luar dirinya, bahkan terasing terhadap dirinya. Relasi sosial manusia
modern dimediasikan oleh citra-citra. Manusia modern ialah manusia
spectacle. Seperti yang dikatakan oleh Debord, “the spectacle is not a collection of images, but a social relation among people, mediated by images (Debord, 1967).”.
Alienasi
dan reifikasi tidak hanya melulu berkutat pada persoalan tersebut.
Persoalan gender, gerakan pembebasan, semangat sains, keberagamaan,
kehidupan bersosial, bekerja, peradaban, dan hal oposisi biner lainnya,
sesungguhnya, secara filosofis setidaknya, merupakan implikasi dari
gejala alienasi dan reifikasi. Pembendaan atau menjadikan segala sesuatu
sebagai objek dalam tataran gender mengakibatkan pria memandang wanita
sebagai hal yang berbeda terhadap gendernya, sebaliknya. Pria
diasumsikan harus begitu, sedang wanita diasumsikan harus begini. Hal
ini dikarenakan pandangan dualistik. Pria melihat wanita sebagai objek,
dan pada saat yang sama pria pun memandang dirinya sebagai objek. Begitu
juga dengan wanita, melihat pria sebagai objek, di saat yang sama ia
melihat dirinya sebagai objek. Inilah yang mengakibatkan bias gender.
Pandangan ini erat kaitannya dengan gejala alienasi dan reifikasi.
Begitu
juga dengan soal Kiri dengan Kanan, Tuhan dengan manusia, nilai dengan
fakta, dan sebagainya. Ketika manusia melihat sesuatu di luar dirinya
sebagai objek melulu, tanpa ada keterkaitan sebagai pengalaman hidupnya,
problem alienasi dan reifikasi tidak akan terselesaikan. Dan sulit
untuk menjawab persoalan-persoalan yang yang muncul, katakanlah problem
ekologis, kekerasan, dehumanisasi, kemiskinan, kriminalitas,
individualistik, dll. Persoalan ini bukanlah tanpa sebab atau jatuh
begitu saja dari langit. Persoalan-persoalan atau krisis-krisis tersebut
terkait erat dengan pandangan-dunia yang mendominasi kehidupan manusia
modern, yaitu dualistik. Manusia modern tidak mampu memahami realitas
secara integral atau holistik melainkan dengan keterpilahan dan
keterpisahan.
Krisis
ekologis, untuk tidak membahas satu per satu, merupakan cara pandang
manusia melihat alam atau lingkungan sebagai objek belaka, yang tidak
terkait erat dengan pengalaman hidupnya. Alam diperlakukan sebagai
entitas tidak bernyawa dan bermakna serta berkesadaran. Alam telah
diputus dari jaringan kehidupan, yang dimana manusia terlibat di
dalamnya. Alam dieksploitasi tanpa memedulikan dampaknya terhadap
kehidupan. Sebab manusia, sebagai pengamat, melihat alam tidak terkait
dengan jaringan kehidupan. Alam dilihat dengan cara
rasio-instrumentalistik, yang menitikberatkan keuntungan atau kuantitas
melulu. Sejatinya teknologi(sme) yang dikembangkan berdasarkan praasumsi
demikian. Seperti kasus Bencana lumpur panas Lapindo, disebabkan cara
pandang tersebut.
Begitu
juga dengan persoalan perdebatan klasik antara teori dengan praktik.
Selama cara pandang melihat persoalan tersebut bersifat dualistik, sama
sekali tidak akan pernah mencapai titik temu. Kalangan teoritis yang
melihat ranah praktis adalah hal lain, sebaliknya kalangan praktisi
melihat ranah teoritis sebagai hal lain. Sesungguhnya ini implikasi dari
pandangan dualistik yang melihat segala sesuatu terpisah sama sekali,
dan pada akhirnya sebagai objek melulu. Kulminasinya berujung bahwa
segala sesuatu adalah objek, pengalaman yang dilihatnya dipandang tidak
terkait dengan pengalaman dirinya, hingga dirinya pun dipandang sebagai
objek: alienasi dan reifikasi.
Membangun Paradigma-Holistik
Seperti
yang sudah disebutkan bahwa persoalan yang terjadi pada kehidupan
kekinian, diakibatkan oleh pandangan-dunia yang dominan sekarang ini,
yaitu pandangan-dunia Cartesian-Newtonian. Mau tidak mau kita harus
membangun paradigma baru dalam memahami dunia secara keseluruhan. Sebuah
pandangan-dunia yang melihat sesuatu dengan cara-pandang penuh
totalitas, organis, ekologis dan holistik serta integral (selanjutnya
disebut paradigma holistik saja).
Selama ini, paradigma yang berusaha untuk mencapai hal tersebut, sebagian besar berpusat pada ranah sains (Natural Sciences), tidak atau belum pada ranah sosial (Human Sciences).
Tentu saja hal tersebut merupakan langkah yang perlu diapresiasi dengan
baik. Hanya saja, karena faktor kemendesakannya dan akibat tragis
bencana kemanusiaan yang ditimbulkan paradigma modernisme, maka kita
perlu juga untuk membangun pandangan utuh (paradigma
holistik-integratif) tersebut pada ranah sosial. Dengan demikian,
bagaimana mengapresiasi paradigma holistik tersebut, yang selama ini
terpaku pada ranah sains, pada ranah sosial.
Alienasi,
reifikasi, krisis multidimensional, dll., merupakan hal pelik yang
perlu dicari jawabannya. Kendati demikian, ketika pandangan manusia
kekinian masih bersifat dualistik-mekanistik-deterministik-linear (ciri
khas pandangan-dunia modern), persoalan tersebut tidak akan terjawab.
Pandangan tersebut sudah tidak memadai untuk memahami realitas atau
kehidupan, malah turut menciptakan krisis multidimensional; ia juga
turut memiskinkan keanekaragaman kehidupan, sebab bersifat linear. Oleh
karenanya, merupakan hal mendesak untuk membangun pandangan-dunia baru
dalam melihat realitas atau kehidupan. Sebuah pandangan-dunia bersifat
integral maupun holistik. Pandangan-dunia yang melihat entitas-entitas
kehidupan sebagai nexus atau jaringan kehidupan, bukan sebagai balok
bangunan yang bisa dicopot begitu saja. Pandangan-dunia yang melihat
keanekaragaman kehidupan sebagai relasi, proses, dan saling memengaruhi
satu sama lain. Pandangan-dunia yang melihat entitas segala sesuatu
tanpa pembedaan (secara ontologis), namun pada saat yang sama
entitas-entitas kehidupan tidak bersifat identik (gradasi wujud).
Sebagai
misal, pandangan-dunia holistik tidak melihat manusia dan lingkungannya
sebagai entitas terpisah yang tidak memengaruhi satu sama lain. Manusia
melihat lingkungannya tidak sebatas objek yang terpisah sama sekali
terhadap dirinya, melainkan entitas yang saling memengaruhi satu sama
lain serta menganggap sebagai pengalaman yang terkait dengan hidupnya.
Dengan demikian lingkungan dilihat sebagai entitas bermakna,
berkehidupan dan berkesadaran. Begitu juga dalam ranah sosial. Manusia
tidak melihat sesamanya sebagai objek dan melihat pengalaman sesamanya
sebagai pengalaman yang berkaitan dengannya, serta saling memengaruhi
satu sama lain, dengan kata lain tidak terpisah sama sekali. Sehingga
kecurigaan terhadap sesama, perbedaan gender, kekerasan, kemiskinan, dan
hal krisis lainnya yang diakibatkan oleh peradaban modern bisa
dicarikan jawabannya secara utuh.
Kecurigaan terhadap sesama diakibatkan seseorang melihat orang lain sebagai objek atau “yang lain” (the other).
Ketika seseorang melihat orang lain sebagai yang lain, itu berarti pada
saat yang sama ia melihat dirinya sebagai objek; “aku”-”yang lain.”
Begitu
juga dengan persoalan gender, pria melihat wanita melulu sebagai objek
atau perasaan asing terhadap hal yang berbeda dengannya, pun sama halnya
dengan wanita. Kasus lain, kemiskinan sampai saat ini masih belum
memberikan tanda akan teratasi. Hal ini disebabkan pengalaman manusia,
dalam hal ini kemiskinan, satu sama lain tidak dilihat sebagai
pengalaman yang terkait dengan dirinya, melainkan pengalaman di luar
dirinya yang terpisah sama sekali.
Para
pemodal yang melakukan kegiatan pasar tanpa memperdulikan pengalaman
manusia selain dirinya sebagai pengalamannya, akan menyebabkan tidak
peduli akan dampak yang diakibatkan oleh kegiatan pasarnya. Sebab
dampak tersebut dianggap bukan sebagai pengalaman dirinya, melainkan
orang lain. Itu juga kenapa dalam logika kapitalisme tanggung jawab
biaya sosial tidak diperhatikan, malah tidak ada, yang ada hanyalah
akumulasi kapital. Selain itu tercipta kesadaran—implikasi sikap melihat
pengalaman orang lain tidak terkait dengan pengalaman dirinya—bahwa
kemiskinan merupakan pengalaman individu. Ini yang menyebabkan adanya
pemahaman bahwa kemiskinan merupakan akibat dari kemalasan atau takdir.
Dengan kata lain kemiskinan tidak sama sekali dilihat sebagai proses
atau ada yang menyebabkan. Sikap diam dalam melihat kemiskinan turut
menciptakan, atau setidaknya mempertahankan, kemiskinan. Sikap-sikap
seperti ini bisa dilacak sumber permasalahannya, yaitu pandangan-dunia.
Dalam
ranah politik, kita bisa melihat akan adanya keterpilahan serta
keterpisahan, yang juga persoalan dikotomisasi lagi, antara
politisi-nonpolitisi, negara-rakyat. Demokrasi yang dikembangkan
sekarang ialah demokrasi representasional. Model demokrasi ini sangat
besar kemungkinannya dalam mengalienasikan rakyat dan wakil rakyat. Pada
sisi lain, perwakilan aspirasi rakyat, malah menjadikan semakin
termediasinya rakyat dengan wakilnya. Hampir bisa dipastikan bahwa
rakyat tidak mengenal dengan baik wakilnya, selain hanya mengenal
citra-citra wakilnya. Sebagai sebuah citra, tentu saja hal itu bukanlah
realitas, melainkan representasi dari realitas; yang mana hal tersebut
bisa saja mendekati realitas atau tidak sama sekali. Kita bisa lihat,
bahwa dalam kehidupan politik kontemporer, rakyat menjadi spectaclist.
Karena
kehidupan politik harian rakyat terpisah, maka kita bisa menemukan
dengan mudah alienasi yang terjadi. Negara, di mana rakyat masuk di
dalamnya, kini malah teralienasi. Negara adalah segala yang bukan
rakyat. Lihat saja, segala kebijakan negara yang selalu berdiri atas
nama rakyat, akan tetapi masalahnya, rakyat yang mana, ketika kebijakan
tersebut hampir ditentang oleh mayoritas rakyat, namun tetap saja
kebijakan tersebut bergulir di tengah kehidupan rakyat. Sebut saja
masalah kenaikan sembilan bahan pokok, dan BBM, untuk tidak menyebut
semua. Pun serupa dengan pejabat pemerintahan, yang teralienasi dari
rakyatnya. Di tengah kemiskinan yang semakin menggurita, bahkan banyak
rakyat kelaparan, para wakil rakyat dengan seenaknya malah membuat
anggaran untuk pengadaan lap top, renovasi gedung, kenaikan
gaji, studi toour ke manca negara, dll. Pada akhirnya, negara modern
adalah sistem relasi sosial yang memediasi (baca menghijabi/membentengi)
antara rakyat dan yang bukan rakyat (pejabat negara).
Pejabat negara (subjek), dengan mediasinya, yakni negara, berhak
mendominasi rakyatnya (objek).
Problem-problem
tersebut erat kaitannya dengan persoalan ontologis dan epistemologis.
Karenanya, pembenahan terhadap ranah epistemologis dan ontologis
merupakan hal mendesak. Bagaimana melihat entitas di luar diri manusia?
Bila entitas kehidupan yang ada tidak saling berkaitan, mengapa
ketimpangan lingkungan dapat memengaruhi kehidupan manusia? Mengapa
ketimpangan dalam kehidupan manusia turut memengaruhi kehidupan
lingkungan? Mengapa ketimpangan dalam kehidupan sosial turut memengaruhi
kehidupan personal? Mengapa ketimpangan dalam kehidupan personal turut
memengaruhi kehidupan sosial? Singkatnya, kita harus membangun paradigma
baru dalam berbagai ranah, seperti sosial, politik, ekonomi, kultural,
gerakan sosial, moral, dll.
Pandangan-dunia
dualistik-mekanistik tidak mampu menjawab persoalan tersebut secara
memadai. Terlebih ketika diajukan pertanyaan: ketika entitas tersebut
saling mempengaruhi apakah berarti secara ontologis entitas tersebut
independen atau interdependensi? Apakah entitas tersebut identik satu
sama lain? Ketika identitas entitas tersebut identik, bagaimana
menjelaskan proses jaringan antar-kehidupan?
Mau
tidak mau, diperlukan membangun pandangan-dunia bersifat integral dan
holistik untuk menjawabnya. Selain itu pandangan-dunia holistik juga
dapat menjawab persoalan dualistisme, yang merupakan akar-utama dari
alienasi dan reifikasi serta krisis multidimensional. Pandangan-dunia
tersebut juga mampu melihat keanekaragaman, sebab tidak bersifat linear
dan reduksionistik. Sebagai contoh, dalam ranah sosial-politik-ekologi,
kita bisa membangun cara-pandang yang sama sekali baru yang berbeda dari
pola Cartesian-Newtonian. Seperti politik ekologi sosial, misalnya.
Dalam ekologi sosial, ia didasarkan pada gagasan bahwa relasi
antarmakhluk hidup, membentuk dan menentukan relasi mereka dengan alam.
Ekologi sosial hendak menata ulang masyarakat sesuai dengan
prinsip-prinsip ekologis.
Graham Baugh, dalam tulisan “The Politics of Social Ecology”, yang dimuat dalam suatu antologi untuk mengapresiasi Murray Bookchin, mengatakan bahwa “pemikiran
sentral ekologi sosial adalah bahwa dominasi manusia atas alam berakar
dari dominasi manusia yang satu terhadap manusia lainnya.”
Ekologi
sosial merupakan salah satu paradigma non-Cartesian-Newtonian yang
sedang digalakan sedemikian. Masih banyak ranah lainya yang perlu
dipahami dengan pola paradigma non-Cartesian-Newtonian.
Penutup
Dari pemaparan dan penjelasan di atas, kita bisa menarik suatu
kesimpulan bahwa permasalahan yang berbagai macam (multidimensional) dan
kompleks itu, berakar tunjang pada persoalan pandangan-dunia. Selama
ini, dalam kurun waktu tiga abad, manusia dalam menjalankan kehidupannya
menggunakan cara-pandang Cartesian-Newtonian, yang bersifat
deterministik-mekanistik-reduksionistik-atomistik-linear. Pada
kenyataan-nya, paradigma tersebut telah banyak mendapatkan kritik dari
perkembangan keilmuan kontemporer, selain menimbulkan berbagai krisis
dalam kehidupan. Sudah sepatutnya kita pun turut mengkaji
ulang dan membangun paradigma baru untuk memahami dunia atau kehidupan
dengan lebih baik.
Dan
perlu ditekankan, bahwa paradigma holistik itu bukanlah gudang jawaban
begitu saja yang sudah selesai, melainkan ialah suatu cara-pandang baru
yang merayakan keseluruhan dan bersifat organis dalam melihat sesuatu.
Kita bisa mengatakan bahwa paradigma holistik sebagai sebuah kesadaran
baru dalam memahami dunia atau kehidupan.
Ciputat, 20 September 2007/pkl. 02.26 wib.
Catatan Editor:
Menurut Ahmad Samantho[5], konsep pandangan dunia holistik-integratif yang ditawarkan saat ini misalnya oleh Armahedi Mahzar[6] dan Husein Heriyanto[7] serta Mulyadhi Kartanegara[8] misalnya,
sebenarnya dapat dilacak akar filosofisnya dari sejenis pandangan dunia
yang berabad-abad lalu pernah ditawarkan oleh teosof (hakim/urafa) besar Islam: Ibnu Arabi[9], dengan konsep “Wahdah al-Wujud”, yang lalu dikembangkan lagi oleh Mulla Sadra[10] dengan konsep “Al Shalah al-Wujud”, “Tasyqiq al-Wujud”, “al-Harakat al-Jawhariyah”, “I’tihad Aqil wa al-Ma’qul”. Uraian mengenai hal ini lebih jauh dapat dilihat pada makalah berjudul “Paradigm Shift In Sciences Research & Development to Islamic Epistemology: Holistics & Integralistics Paradigm”
Wa Allah a’lam. []
Senarai Rujukan
Baugh, Graham. (?). “The Politics of Ecology Social” dalam Renewing the Earth, The Promise of Social Ecology. Naskah didapatkan dari http://anarchoi.gudbug.com/2006/06/19/politik-ekologi-sosial/ pada Maret 2007.
Berman, Morris. 1984. The Reenchantment of the World. USA: Bantam Books.
Bookchin, Murray. (?). What is Social Ecology?. Naskah didapatkan dari http://rumahkiri.net/index.php?option=com_wrapper&Itemid=226 pada Juni 2007.
Capra, Fritjof. 2005. The Hidden Connections. penerj. Andya Primanda. Bandung: Jalasutra.
Debord, Guy. 1967. Society of the Spectacle. Naskah didapatkan dari http://www.marxists.org/reference/archive/debord/society.htm pada Maret 2007.
Descartes, Rene. 1635. Discourses on the Method. Naskah didapatkan dari http://www.marxists.org/reference/archive/descartes/1635/discourse-method.htm pada September 2007.
Descartes, Rene. 1639. Meditations on First Philosophy. Naskah didapatkan dari http://www.marxists.org/reference/ar-chive/descartes/1639/meditations.htm pada September 2007.
Heriyanto, Husein. 2003. Paradigma Holistik: Dialog Filsafat, Sains, dan Kehidupan Menurut Shadra dan Whitehead. Jakarta: Teraju.
Heriyanto, Husein. 2005. “Dari Visi menuju Aksi Perubahan” dalam kata pengantar buku Fritjof Capra The Hidden Connections. Bandung: Jalasutra.
Nasr, Sayyed Hossein. 1996. Religion and the Order of Nature. New York: Oxford University Press.
Wijayanto, Eko, dkk (ed.). 2002. Visi Baru Kehidupan: Kontribusi Fritjof Capra dalam Revolusi Pengetahuan dan Implikasinya pada Kepemimpinan. Jakarta: Penerbit PPM.
[1]
Makalah disajikan pada acara bedah buku karya Husain Heriyanto
“Paradigma Holistik” di Avicenna Center for Religion and Science Studies
(ACRoSS), Jakarta, pada 22 September 2007.
[2] Mahasiswa semester lima program studi Islamic Studies di Islamic College for Advanced Studies, Jakarta.
[3] Dalam
tulisan ini, frase paradigma Cartesian-Newtonian dan pandangan-dunia
modern digunakan secara bergantian dengan pengertian serupa.
[4] Di
maksud sebagai paradigma Cartesian-Newtonian adalah pandangan Rene
Descartes (1596-1650) dan Isaac Newton (1642-1727) yang mendominasi
metodologi pengetahuan modern selama kurang lebih tiga abad. Walaupun
perkembangan pengetahuan kontemporer banyak meruntuhkan asumsi-asumsi
dasar paradigma tersebut, namun tetap saja paradigma tersebut berakar
dalam/untuk memahami relitas atau kehidupan. Sebab runtuhnya asumsi
dasar paradigma tersebut juga menggoyahkan epistemologi, ontologi,
aksiologi, dan metodologi yang dibangun oleh paradigma tersebut. Seperti
yang sudah disinggung bahwa pandangan dualisme merupakan warisan Rene
Descartes, begitu juga Newton mewariskan pandangan mekanistik. Newton
menggabungkan mimpi visioner rasionalisme Descartes dan visi empirisime
Francis Bacon (1561-1626) agar dapat ditransformasikan ke dalam
kehidupan nyata melalui peletakkan dasar-dasar mekanika. Ia memadukan
Copernicus (1473-1543), Johannes Kepler (1571-1626), dan Galileo
(1546-1626) di bawah asumsi kosmologis Descartesian yang mekanistik,
atomostik, deterministik, linier, dan serbakuantitatif; dan pada saat
yang sama, ia menerapkan metode eksperimental-induksi Baconian.
[5] Lihat Ahmad Samantho, Uraian mengenai hal ini lebih jauh dapat dilihat pada makalah berjudul “Paradigm Shift In Sciences Research & Development to Islamic Epistemology: Holistics & Integralistics Paradigm”, dan Thesisnya yang berjudul “Kosmologi
dan Epistemologi Ibn Arabi sebagai landasan Ontologis dan Epistemologis
bagi Perumusan Kembali Pandangan-Dunia Holistik-Integratif Pasca Era
Post-Modernism” di Islamic College for Advanced Studies (ICAS) Jakarta, 2008
[6] Lihat Armahedi Mahzar, “Integralisme”, Penerbit Mizan Bandung, 200..
[7] Lihat Husain Heriyanto, “Paradigma Holistik”, Penerbit Mizan Bandung, 2002
Tidak ada komentar:
Posting Komentar