KEMELUT
KEPEMIMPINAN SELEPAS RASUL
Ayatullah Muhammad Baqir Sadr
Tentang Buku
Ini:
Judul Asli : Bahts Haula Walayah
Penerjemah : Habib Muhsin Labib
Judul Terjemahan : Kemelut Kepemimpinan Selepas
Rasul
Penerbit : Penerbitan Yayasan As-Sajad,
Jakarta
Tahun :
1990
Dicetak ulang oleh Mustamin Al-Mandary
pada Bulan Nopember 2002 tanpa tujuan komersial, semata-mata untuk bahan
referensi.
DAFTAR
ISI
SYl'AH DAN DAKWAH NABI (4)
PEMBAHASAN
PERTAMA
1. Bagaimana Timbulnya Syi'ahisme (9)
2. Alternatif Pertama:
- Sikap yang mungkin diambil Rasul (12)
3. Alternatif Kedua:
- Jalan Kedua yang mungkin ditempuh Rasul (23)
4. Alternatif Ketiga:
- Yang ditempuh Rasul demi kelangsungan
Misinya (62)
PEMBAHASAN KEDUA
Bagaimana
lahirnya Golongan Syi'ah (71)
KEKELIRUAN
MEMANDANG TASYAYYU (89)
SYI'AH DAN DAKWAH NABI
Kerap kali sebagian
besar para analis dan kaum intelektual mempelajari Syi'ahisme atau
Tasyayyu’dengan didasari kesan subyektif dan kesimpulan yang agak rapuh. Mereka
beranggapan bahwa Syi'ahisme merupakan pemandangan yang ganjil dalam tubuh
masyarakat Islam yang lebih dominan.
Anggapan ini mereka simpulkan bertolak dari kenyataan
yang ada dimana Syi'ah hanya terdiri dari beberapa individu yang muncul dengan
corak tertentu dl tengah-tengah masyarakat Islam yang jauh lebih besar jumlah
serta pengaruhnya. Selanjutnya kelompok minoritas tersebut berkembang biak
sebagai akibat dan efek dari pada serangkaian perkembangan politik-sosial yang
terjadi pada saat itu. Dengan kata lain, mereka telah menjadi bayi yang
dilahirkan oleh kondisi labil saat itu.
Kejadian dan perkembangan-perkembangan Itu secara
otomatis telah mengakibatkan munculnya haluan yang bercorak unik dan lain dari
pada yang lain di tengah masyarakat Islam yang jelas berbeda dengan mereka,
lambat laun aliran pemikiran baru ini makin membengkak dan sempat melebarkan
sayap pengaruh radikalnya di hati sebahagian Muslimin atau kebanyakan dari
mereka.
Para penganalisa itu - setelah beranggapan demikian
secara serentak saling berselisih pendapat mengenai faktor utama aliran
tersebut dan gejala perkembangan tertentu yang jelas telah melahirkan kelompok
kecil itu. Sebagian mereka berpendapat bahwa Syi'ahisme adalah pendapat yang
dicetuskan oleh seorang yang konon bernama Abdullah bin Saba'. Ada juga yang
mengatakan demikian: Bahwa timbulnya Syi'ahisme merupakan pengaruh dari pada
kebijaksanaan politik Ali bin Abi Thalib, mengingat pada zaman pemerintahan
beliau telah terjadi perkembangan-perkembangan yang amat seru dan mendebarkan.
Sebagian lain beranggapan bahwa munculnya Syi'ahisme adalah akibat alami yang
tak terelakkan dari perkemban-gan-perkembangan politik yang terjadi pada masa
terakhir dalam serangkaian dan rentetan sejarah Umat Islam.
Berdasarkan logika yang saya pijak, pendapat-pen-dapat
yang dilontarkan para sarjana itu adalah kesimpulan dari penjabaran yang tidak
argumentatif dan kurang rasionil, yaitu dengan berkesimpulan bahwa Syi'ahisme
merupakan fenomena yang ganjil dan aneh. Kesimpulan ini mereka serap dari dasar
kenyataan sebelumnya yaitu kenyataan Syi'ahisme hanyalah segolongan masyarakat
kecil yang tumbuh segar di tengah-tengah masyarakat lain yang lebih dominan dan
besar jumlahnya.
Kenyataan inilah yang menyeret mereka ke suatu lembah
sehingga beranggapan bahwa Non Syi'ah adalah tolok ukur yang harus dijadikan
sebagai satu-satunya cara dalam membagi dan membedakan antara kelompok mana
yang orisinil dan lebih dahulu muncul? Disamping itu semua, penjabaran semacam
ini bertentangan dengan kenyataan adanya perbedaan dan terbaginya aliran-aliran
yang kita temukan selama ini. Kadang-kadang kita mengklaim suatu aliran sebagai
yang paling benar bukan atas dasar jumlah pengikut aliran tersebut atau dari
segi banyak dan sedikitnya, demikian juga sebaliknya kita terkadang menganggap
suatu akidah sebagai akidah yang keliru dan sesat tanpa mempertimbangkan jumlah
penganut akidah tersebut. Lagi pula mungkin masa timbulnya akidah atau aliran
yang kita anggap sesat atau sebaliknya akidah yang kita anggap benar
berbarengan dalam satu tempo dan waktu. Perlu digaris-bawahi bahwa terkadang
kedua aliran menyuarakan satu misi dan konsep yang sama; misalnya kedua aliran
itu sama mengaku sebagai Islam Yang Murni dan pengikut-penglkutnya merasa
bagian dari Umat Muhammad S.A.W. Sama halnya dengan Syi'ah dan Non Syi'ah,
prosentase dan jumlah pengikut kedua garis pemikiran yang kurang seimbang itu
tidak patut dijadikan sebagai bukti akan keotentikan dan kemurnian salah
satunya.
Perlu dicamkan baik-baik bahwa kita tidak dibenarkan
berdasarkan hukum logika - beranggapan masa timbulnya dan populernya istilah
dan nama Syi'ah atau Tasyayyu’ berbarengan dengan masa munculnya golongan serta
konsep Tasyayyu' itu sendiri; sebagai Istilah populer dan akrab bagi suatu aliran
dan golongan tertentu di tengah masyarakat yang tampak-tampaknya mengakui
eksistensi dan keberadaan mereka selaku oposan dan bagian dari mereka yang
memiliki hak bersuara dan bernafas, sebab munculnya nama serta lahirnya
golongan yang menyandang nama itu tidak mesti bersamaan dalam satu waktu
(seperti lahirnya seorang bayi janin yang belum diberi nama atau sebaliknya
seperti bila kita telah memberi nama kepada janin yang belum lahir. Hal ini
sering kali terjadi).
Kita mungkin belum pernah menemukan kAlimat dan
sebutan "Syi'ah" dalam percakapan sehari-hari pada zaman Nabi berikut
setelah wafatnya namun kenyataan inl tidak menjamin dan dapat membuktikan bahwa
golongan Syi'ah inl belum pernah ada pada zaman Nabi baik secara praktis
operasionil maupun secara teoritis dan konsepsional.
Jika kita sudah memperhatikan dan memahami
dengan jelas pokok-pokok di atas maka Insya Allah kita akan mampu mengambil
gambaran yang jelas serta kesimpulan yang gamblang dan rasionil. Tentunya itu
semua tidak akan kita dapatkan sebelum menemukan jawaban yang jitu dan mengena
atas dua pertanyaan pokok berikut ini: Bagaimana proses timbulnya Syi'ahisme?
Bagaimana proses lahirnya golongan Syi'ah itu sebenarnya?
PEMBAHASAN PERTAMA
Bagaimana Timbulnya Syi'ahisme
Secara keseluruhan dan global dapat kita pastikan
bahwa Tasyayyu' adalah, "Hasil produksi pengelola motor dakwah
Nabi" sejak beliau memulai karir dan menjalankan tugas sucinya sebagai
Duta Luar Biasa Allah S.W.T. Syi'ahisme merupakan formula yang berkwalitas
tinggi dengan khasiat yang tak dapat diragukan lagi dan diramu seteliti mungkin
sebagai Konsep Istimewa yang dipaparkan guna menjaga kesinambungan dan
kelangsungan program kerja penyebaran dakwah Rasul dan guna mewujudkan
cita-cita luhur beliau untuk menciptakan masyarakat yang sadar sepenuhnya akan
politik, sosial, dan budaya serta maju seiring dengan proses naturalis evolusi
dan perkembangan yang lumrah dan normal. Hal ini bisa kita simpulkan secara
rasionil bila memantau dengan seksama dan jeli ke arah dakwah yang merupakan
proyek besar yang dicanangkan oleh Rasul dalam lingkar batas situasi dan
kondisi yang ada pada saat itu. Langkah dan kebijaksanaan pertama yang diambil
Nabi dalam upaya menjaga kelancaran dan memobilisasikan masyarakat ke arah
dakwah ialah mengendalikan tali pemerintahan dan kekuasaan dengan tangan
beliau sendiri dan secara langsung menanganinya dengan melibatkan diri secara
total dalam aksi dan operasi politis yang beliau galakkan sendiri demi
kesuksesan proyek. Langkah kedua ialah berusaha sekuat mungkin dengan persiapan
yang matang agar program ini tidak mandek dengan melancarkan aksi perombakkan
dan pembenahan total dalam tubuh masyarakat; moral, mental, pola tindak, cara
berfikir, watak dan seluruh aspek yang bertalian erat dengan mereka.
Patut diingat bahwa operasi perombakan dan pembersihan
total serta menyeluruh itu tentunya memerlukan jangka waktu yang tidak sebentar
serta menuntut adanya kekuatan yang dapat diandalkan untuk mengawal perjalanan
dakwah dalam mencapai kesuksesannya yang gemllang dan besar sekaligus untuk
menepis dan menyingkirkan segala macam hambatan dan gejala-gejala kelesuan yang
bisa mengganggu kelancaran proyek penyebaran. Mengingat perbedaan antara Islam
dan kultur jahiliyah sangat jauh dan bersifat fundamental, maka tugas berat
beliau ialah merintis dari awal mula menclptakan manusia muslim seutuhnya dari
manusia yang sama sekali asing tentang nilai kesopanan dan telah menjadi bagian
dari kepandiran jahiliyah yang luar biasa, membenahi manusia Jahilis dengan
membersihkannya dari segala jenis noda dan pengaruh kotor serta membebaskannya
dari jeratan dan belenggu moral kultur jahiliyah.
Dalam memulai langkah baru ini, Rasul telah mengambil
sikap yang mencengangkan dengan mempelopori aksi Sapu Bersih secara total
terhadap dasar-dasar jahiliyah dalam tempo waktu yang relatif singkat sekaligus
membuahkan hasil-hasil yang gemilang dan mengagumkan. Semestinya operasi
perombakan itu harus dilanjutkan dan tidak berhenti begitu diketahui bahwa
Rasul meninggal dunia. Perlu diketahui bahwa beliau seringkali mem-beritahukan
tentang saat meninggalnya yang makin dekat. Itu sering dikatakannya baik tidak
secara terang-terangan maupun secara implisit sebagaimana dalam peristiwa
Hajjatul-Wada yang mana itu memberi kesan kepada kita bahwa beliau tidak wafat
secara tiba-tiba. Jadi, berarti beliau mempunyai kesempatan luang untuk
memikirkan langkah-langkah berikut yang semestinya diambil dengan mempersiapkan
rancangan dan konsep yang sempurna dan jelas demi terwujudnya semboyan Proyek
dakwah yang telah dirintisnya, apalagi - selaku Muslimin - kita yakin bahwa
adalah tugas dan kebljaksanaan Allah melalul sifat belas kasih dan
kelembutan-Nya untuk melestarikan dakwah hingga menggapai kesuksesan yang
diincarnya melalui Wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad. Dengan demikian
kita sadari bahwa hanya ada tiga macam alternatif jalan yang mungkin salah
satunya telah ditempuh Rasul demi masa depan dan keberhasilan program
pengembangan dakwah beliau.
ALTERNATIF PERTAMA :
Sikap Yang Mungkin Diambil
Rasul
Bersikap pasif
terhadap masa depan dan kelanjutan misi dakwah. Cukup hanya menyelesaikan tugas
pemiliharaan dakwah selama masa hidupnya. Adapun kelanjutannya maka nasibnya
tergantung pada kondisi mendatang dan kemungkinan serta kejutan yang timbul
kelak.
Alternatif dan interpretasi ini
tidak layak bagi Rasul. Mustahil beliau tidak peduli akan kelangsungan dakwah
selanjutnya, sebab alternatif dan anggapan "Rasul bersikap masa
bodoh" ini hanya berdasarkan dan kemungkinan yang tidak rasionil dan tidak
realistis.
Dasar
Pertama:
Bahwa kemungkinan sikap dingin yang diambil
dan diperlihatkan Nabi tidak akan mengganggu kelancaran dakwah setelah
wafatnya, sebaliknya masyarakat kelak dengan sendiri berandalkan kreatifitas
mereka akan sadar pada tanggung jawab mengembannya serta mampu bertindak
selaras dengan kebijaksanaan dan langkah yang pernah diambil oleh Nabi dan
seiring dengan apa yang telah digariskannya.
Dasar kemungkinan ini kurang realistis, bahkan
kebanyakan segala sesuatu selalu memantulkan kebalikan-nya, mengingat dakwah
yang telah dirintis itu merupakan serangkaian upaya perombakan total secara
tuntas dan mengakar. Operasi tersebut digalakkan dengan dasar tujuan dan
cita-cita membina masyarakat baru dan segar sekaligus mencabut segala macam
akar yang lama sekali bercokol dan melepaskan segala macam tali kotor jahiliyah
yang selama ini menjerat mereka sejak berabad-abad dan menjadi sistem sosial
mereka satu-satunya dan menjadi cermin bagi pola hidup mereka sehari-hari.
Operasi penyapuan sisa-sisa kanker jahiliah ini akan terbentur dengan
kemungkinan-kemungkinan bahaya yang akan timbul sebagai akibat negatif dari
kevakuman dan ketladaan seorang pemimpin atau akibat psikis dari kematian
seorang pemimpin (Nabi) tanpa meninggalkan pesan atau mewariskan konsep bagi
program pemerataan dakwah setelah sebagai efek dari pada tindakan spontan dan
upaya penyelamatan sekonyong-konyong dalam rangka menanggulangi dan mengisi
lapangan yang hampa dari seorang pemimpin. Secara alami kehampaan itu menuntut
adanya tindakan penyelamatan darurat secara kilat guna mengisinya dengan
tindakan dan sikap yang cepat dan spontan juga. Dengan kata lain keadaan tidak
peduli akan kehampaan dan kesulitan. Keadaan hanya meminta pemimpin dan pengisi
lubang. Hal ini akan lebih jelas lag! kalau kita memantau lebih dekat dan
seksama, masyarakat pada saat itu sedang dilanda kegelisahan dan tidak tahu apa
yang sernestinya mereka perbuat, mengalami depresi yang amat kuat karena
ditinggal wafat seorang pemimpin yang kharismatik dan sangat berpengaruh.
Bila kita beranggapan bahwa Nabi telah meninggalkan
masyarakat dan arenanya tanpa terlebih dahulu mempersiapkan rancangan dan
jadwal kerja yang matang serta tajuk demi menyongsong masa depan yang
memprihatinkan, maka sebagai dampaknya, akan timbul tindakan dari pihak masa
secara gegabah dan tidak sistematis yang "kebetulan" merasa
bertanggung jawab dan berkepentingan menangani masalah untuk pertama kali. Hal
mana, masalah-masalah tersebut sangat tabu dan sulit ditangani bila tanpa
bimbingan pemimpin sebelumnya, apalagi bila ditangani oleh orang yang bukan
profesional, sedangkan rakyat pada saat itu tidak mengerti dan tidak mempunyai
gambaran yang cukup menjamin kemampuan mereka tentang hal itu. Namun sisi lain,
kevakuman itu menuntut tindakan secepatnya dan segera dilaksanakan tepat pada
saat masyarakat sedang dicekam duka dan dirundung kegelisahan karena Sang
Pemimpin Besar pergi menemui Kekasih Sejati Allah S.W.T. tanpa permisi.
Adalah logis, kebingungan ini sedikit banyak
menghambat dan mengganggu konsentrasi dan menimbulkan stress dan kepincangan
dalam tindakan, sampai-sampal salah seorang sahabat senior berteriak-teriak
histeris
"Rasulullah belum mati! Rasulullah
tidak akan mati! Siapa yang mengatakan mati !".
Pertanda bahwa kebingungan telah melanda
seluruh lapisan masyarakat. Sikap lepas kontrol sahabat kawakan ini cermin dari
pada opini masa yang ketegangannya belum reda karena ditinggal mati
"Pengasuh", "Ayah", "Pemimpin" dan kebanggaan
mereka Muhammad S.A.W dan karena tidak ada pengganti yang sesuai.
Disamping itu semua, terdapat beberapa bahaya yang
mengancam dan timbul akibat dari krisis integritas dan intelektualitas serta
kenaifan tentang seluk-beluk serta perjalanan dakwah selanjutnya, yang mana
pada saat genting dan mencekam Itu dibutuhkan seorang pemimpin prima dan arif
seperti Nabi. Bahaya lain yang akan timbul ialah akibat buruk dari tindakan
mendadak dan gerak reflek masyarakat dalam menanganinya, yang mana itu pasti
tidak senada dan sealur dengan cara yang ditempuh Rasul sekaligus bertentangan
dengan tuntutan misi serta konsekwensinya sebagai misi yang ditegakkan guna
melenyapkan pertentangan spiritual antara masyarakat yang kala itu terpecah
menjadi puak-puak dan blok seperti antara kelompok Muhajirin dan Anshar
(masyarakat pendatang dan penduduk asli), antara suku besar Quralsy dengan
suku-suku lain begitu juga antara penduduk kota Mekkah dan penduduk kota
Medinah.
Bahaya-bahaya tersebut akan lebih menakutkan bila kita
sisipkan faktor oknum-oknum (Kaum Munafiqin) apalagi setelah kita ketahui bahwa
jumlah mereka bertambah banyak setelah kota Mekkah ditaklukkan, yang mana
penaklukan itu membuat orang-orang Quraisy ketakutan dan mengucapkan secara
terpaksa dua kalimat Syahadat atas dasar kepuasaan hati dan kemantapan iman.
Bahaya-bahaya ini tidak hanya menimpa masyarakat dan
mengancam ekslstensi Islam saja tapi ini semua merupakan refleksi alami dari
tidakadanya seorang yang dapat menggantikan pemimpin agungnya yang wafat. Dan
masyarakat pada saat itu tidak hanya kehilangan seorang pemimpin tapi
kehilangan pengasuh berkharisma tinggi yang bergelar
"Khatamu-Anbiya"' pelengkap semua ajaran para Nabi.
Abu Bakar dengan alasan hendak menyelamatkan Umat
telah mengambil alih tampuk kekuasaan dengan gesit. Tindakan positif ini ia
lakukan - katanya - demi masa depan dakwah dan kesinambungannya.
Kekhawatiran dan kecemasan itu juga
teriihat ketika beberapa orang berbondong-bondong menuju Umar bin Khatab sambil
berteriak-teriak:
"Sudikah anda memimpin? Masyarakat
sangat cemas akan kekosongan seorang pemimpin padahal saat Itu situasi kondisi
kembali stabil sejak upacara pelantikan dan penobatan Abu Bakar sebagai
Khalifah yang sah” (Tarikh
Ath-Thabari juz 5 hlm. 26).
Kekhawatiran demikian juga melanda hati
Umar, hal ini teriihat dalam penunjukkannya kepada enam orang dari
rekan-rekannya sebagai kandidat-kandidat terbatas jabatan Khalifah. Ini
pertanda bahwa betapa besar kekhawatiran sahabat senior ini melihat dan
membayangkan bahaya-bahaya yang timbul akibat kekosongan seorang pemimpin dan
tidak-adanya pengganti berikutnya.
Umar sadar akan bahaya-bahaya dan gawatnya
situasi jlka tidak ada seorang yang mengendatikan segera di nari sidang darurat
Saqifah dan sadar akan efek negatif dari cara pembai'atan dan pemilihan Abu
Bakar yang dilangsungkan secara mendadak itu. Kekecewaan tersebut tercermin
dalam kesaksiannya pada detik terakhir dari sisa hidupnya. Kesaksian itu
demikian bunyinya:
"Pembai'atan Abu Bakar sebenarnya
adalah serpihan api (penyelewengan), hanya saja Allah telah menjaga Muslimin
dari pengaruh buruk pembai'atan tersebut!" (Tarikn Ath-Thabari juz ketiga hlm. 42).
Abu Bakar sendiri pernah mengemukakan
penyesalannya atas tindakannya yang tergesa-gesa menerima tawaran untuk
memimpin. la mengutarakan alasan penerimaan hanya karena ingin menyelamatkan
keadaan yang kritis dan karena ia dapat membayangkan betapa bahayanya jika
tidak ada seorang yang menggantikan Nabi. Itu tergambar dalam keterangan yang
diberikannya: Rasulullah meninggal pada saat masyarakat masih baru menanggalkan
busana pengaruh jahiliyah mereka dan memasuki hidup baru. Aku khawatir
masyarakat akan kacau balau dan sesat, sedangkan sahabat-sahabatku tak peduli
yang sebaliknya menggantungkan tanggung jawab ini kepadaku saja. (Syarah
Nahjil-Balaghah Juz keenam hlm.42).
Jadi, apabila hal-hal diatas semua benar dan terbuktl
maka tak ayal lag! bahwa Rasulullah akan lebih arif memikirkan dan merasakan
efek dan bahaya yang akan timbul akibat dari sikap pasif tersebut. Beliau tentu
lebih mengerti tuntutan dan langkah apa yang harus diambil demi upaya
pembenahan dan operasi perombakan yang dirintis-nya sendiri terhadap masyarakat
Islam yang baru kemarin meninggalkan jahiliyah yang sejak berabad-abad menjadi
sistem hidup mereka sebagaimana diutarakan oleh Khalifah Abu Bakar bin Abu
Quhafah ra.
Dasar
Kedua:
Bahwa Rasul mengambil sikap pasif demikian
atas dasar bahwa tugas utama beliau adalah mengawal Dakwah Islamiah dan
berhenti pada masa wafatnya. Maka sekalipun beliau menyadari akan efek negatif
dari sikap pasif itu tapi beliau tidak merasa bertanggung jawab memikirkan masa
depan dan prospek misi yang diembannya. Yang penting baginya adalah menjaga
dakwah pada masa hidupnya dan telah dapat memetik keuntungan bagi pribadinya.
Dasar kemungkinan dan interpretasi sikap pasif dengan
keterangan demikian tidak relevan dan tidak sesuai dengan kriteria sebagai
pribadi pemimpin ideologi dan bijaksana. Apalagi kita memandangnya sebagai Nabi
termulia yang mempunyai hubungan super-natural dan halus dengan Allah S.W.T.
secara langsung dalam mengatasi segala urusan yang berkaitan dengan misi
risalah selaku pemimpin unggul yang merupakan manifestasi sempurna bagi seluruh
kriteria dan wadah yang berisikan segala macam sifat dan syarat-syarat seorang
pemimpin yang handal dalam ketulusan, loyalitas, kesetiaan, pengorbanan-nya
yang tak terhingga dalam mensukseskan dakwah. Ter-bukti dalam buku-buku sejarah
bahwa ketika Rasulullah hampir menghembuskan nafasnya yang terakhir diatas
ranjang dan pada saat yang paling kritis dan pada saat rasa sakitnya mencapai
klimaks beliau masih merasa bertanggung jawab untuk menyiapkan satuan perang
yang memang sejak sebelumnya telah direncanakannya untuk segera diberangkatkan
di bawah pimpinan komandan Usamah bin Zaid yang telah ditunjuknya meninggalkan
kota Medinah menuju medan tempur. Berulang-ulang beliau berteriak sambil
menyeru dengan nada jengkel dan marah:
Siapkan pasukan Usamah! Satuan tempur
Usamah harus segera bertolak! (Tarikh AI-Kamil karya Ibnu
Atsir).
Betapa besar perhatian Nabi pada
masalah-masalah miliiter sedangkan pada saat itu, agar segera bertemu dengan
Kekasihnya dan meninggalkan masyarakat yang telah dibinanya untuk selamanya.
Beliau tahu bahwa beberapa saat lagi beliau akan meninggal dunia, namun
detik-detik terakhir dari sisa hidup itu tidak menghalangi atau mengurungkan
tekad dan tanggung-jawabnya meskipun beliau tahu hasil dan akhir dari
pertempuran yang diserukannya itu menang atau kalah. Jika demikian perhatian
beliau pada masalah militer, bukankah suatu anggapan yang tidak relevan dan
nihil sekali bila dikatakan bahwa Nabi Muhammad S.A.W. tidak memikirkan masa
depan dakwah secara keseluruhan, yang mana urusan militer merupakan salah satu
dari aspek-aspek dan penunjangnya Memalukan sekali bila krta beranggapan bahwa
beliau tidak memperhitungkan dan mengukur bahaya-bahaya yang kemungkinan dapat
menggangu kelangsungan dakwah.
Sebenarnya apa yang dilakukan oleh Rasul
pada detik-detik yang paling mendebarkan dl akhir hidupnya sudah cukup akurat
untuk memberlkan bukti konkrit yang menolak mentah-mentah alternatif jalan
pertama sekAligus merupakan gambaran yang cukup jelas bahwa Rasul tidak sepicik
dan senaif apa yang mereka bayangkan dan perkirakan bahwa Nabi tidak peduli
akan prospek dan naslb dakwah. Disamping itu terdapat sebuah teks hadits yang
disepakati oleh kalangan Syi'ah dan Ahlussunnah, demikian terjemahan rlwayat
Itu: Ketika Rasulullah hampir menghembuskan nafasnya yang terakhir dan segera
menemui Kekasihnya Yang Maha Kuasa, sedang pada saat Itu ada beberapa orang
yang berada dalam rumah beliau termasuk sahabat Umar bin Khatab, beliau meminta
dengan suara parau tersendat-sendat sambil menahan rasa sakit dan nyeri:
"Berikan padaku selembar kertas dan
tinta! Aku tullskan untuk kalian semua sebuah pusaka tulisan yang mana Jika
kalian mematuhi isinya maka pasti kalian tidak sesat setelah aku tinggal
pergl." (Musnad
Ahmad bin Hambal juz pertama halaman 300, Shahih Muslim An-Niayaburi Juz kedua
Bab AI-Washoya dan Shahih juz kesatu Kitab An-Nikah).
Usaha yang dilakukan Rasulullah ini dengan
jelas menunjukkan bahwa beliau memikirkan dan prihatin akan bahaya-bahaya yang
mengancam masa depan dakwah serta menyadari sepenuhnya akan betapa pentingnya
menggariskan suatu konsep dan tajuk rencana kerja guna menyelamatkan umat dari
penyimpangan sekaligus guna melindungi proyek tersebut dari kemandekan dan
kegagalan. Bertolak dari sini kita dapat berkesimpulan bahwa tidak mungkin
Rasul bersikap pasif dan dingin terhadap prospek dakwah.
ALTERNATIF KEDUA
Jalan Kedua Yang Mungkin
Ditempuh Rasul
Rasulullah merencanakan beberapa langkah
dan terobosan demi masa depan dan pengembangan dakwah setelah wafatnya dengan
bersikap positif dan tanggap ter-hadap prospek misinya, yaitu dengan
menciptakan sistem negara dan pemerintahan atas dasar syura (musyawarah) yang
diperankan oleh generasi Muhajirin dan Anshar. Kedua kelompok revolusioner
tersebut dijadikan sebagai tulang punggung pemerintahan dan bertindak selaku
motor dakwah dan pembangunan dakwah itu sendiri dalam setiap proses
perkembangannya.
Untuk lebih jelasnya, kita bawakan beberapa alasan
dalam keterangan sebagai berikut:
Seandainya Nabi menaruh perhatian dan bersikap tanggap
terhadap masa depan dakwah dengan beriandas-kan konsep pemerintahan syura
setelah wafatnya dan men-jadikan syura sebagai dinding pelindung proyek
pembinaan dakwah itu semuanya benar maka semestinya Rasul menggalakkan upaya
pengkaderan secara intensif tentang konsep syura dengan segala batas-batas dan
garis-garisnya sekaligus mengesahkannya sebagai sistem tunggal yang dibenarkan
dan sangat luhur dalam Islam sebab masyarakat pada saat itu merupakan
masyarakat yang sejak berabad-abad hidup di bawah pengaruh Sukuisme, rasialis
dan tidak mengenal sama sekali sistem per-musyawaratan. Mereka telah tumbuh
mekar di bawah pengaruh Qabilisme yang memprioritaskan faktor kekuatan fisik,
kekayaan dan faktor warisan leluhur.
Dengan mudah kita dapat menyadari bahwa Nabi belum
pernah terbukti dalam sejarah hidupnya telah mengadakan operasi penataran
sistem syura secara lengkap dengan segala batas-batas dan kerangkanya, sebab
kalau memang beliau melakukan hal itu, maka itu pasti tercermin dalam
sabda-sabda dan prilaku dan pola pikir masyarakat atau sedikitnya terpantau
pada tingkah laku dan cara berfikir generasi senior Muhajirin dan Anshar selaku
pengawal Revolusi elite, tegas dan bertanggung jawab menerapkan sistem tersebut
sebagai sistem negara yang konon dicetuskan dan disahkan oleh Nabi sebagai
pemerintahan. Namun itu semua tidak terbukti dalam kenyataan hidupnya serta
tidak terkesan dalam hadits dan sabda-sabda beliau. Hadist-hadits Nabi tidak
pernah berbicara dan menerangkan secara lengkap dan serius tentang sistem
syura, disamping itu secara keseluruhan tindakan Muhajirin dan Anshar tidak
memberi kesan bahwa mereka memahami seluk-beluk sistem syura yang mereka
katakan dan elu-elukan. Masyarakat sahabat saat itu terbagi menjadi dua partai
yang saling bertentangan:
·
Golongan
yang berkiblat kepada Ahli-Bait (Keluarga Rasul).
·
Golongan
yang dipelopori oleh beberapa tokoh sahabat yang turut menghadiri Sidang
Darurat Saqifah.
Prinsip dan garis pemikiran golongan pertama ialah:
Berpegang teguh pada konsep "Wishayah" dan
"Imamah", memprioritaskan faktor kerabat sebagai salah satu dasar
(karena penghuni rumah lebih mengetahul isi rumah dari pada orang lain.
penerj.). Dan syura bukanlah sistem utama dalam Islam dan kenegaraan.
Prinsip dan garis
pemikiran golongan kedua ialah:
Bersikeras bahwa syura adalah sistem pemerintahan
Islam setelah Nabi meninggal dunia, tapi pola pikir dan tingkah laku serta
semua kebijaksanaan politik golongan berkuasa ini tidak senada dengan syura
yang mereka dengungkan sebagai sistem tunggal dalam pembentukkan suatu
pemerintahan dalam Islam. Terbukti bahwa mereka sendiri tidak konsekwen dengan
prinsip syura tersebut sekaligus kurang konsisten dengan sumpah setia Saqifah
baik pada masa hidup Nabi maupun setelah beliau wafat. Abu Bakar pada
detik-detik terakhir dari sisa hidupnya diatas pembaringan menunjuk rekannya
Umar bin Khatab sebagai penggantinya memangku jabatan kekhalifahan dalam
selembar surat Kenegaraan yang ditulis oleh Utsman bin Affan (selaku Sekretaris
Negara). Demikianlah maksud dari pada isi surat itu:
"Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih
dan Maha Penyayang. Berikut ini Abu Bakar selaku Pengganti Rasulullah berpesan
kepada Para Mukminin dan Muslimin. Salam sejahtera bagi kalian. Saya haturkan
puji syukur ke Hadirat Allah demi kalian semua.Bersama ini, saya dengan resmi
telah menunjuk rakan saya
yang bernama Umar putra Khatab sebagai pemimpin. Maka harapan dan himbauan
saya ialah semoga hendaknya kalian mendengar dan mematuhinya. Sekian".
Setelah penulisan itu selesai, Abdurrahman
bin Auf masuk dan begitu ia mendengar berita penunjukkan telah dilaksanakan ia
langsung protes sambil berkata kepada Abu Bakar:
Hai Khalifahl Bagaimana anda ini ebenarnya?
Abu Bakar menjawab dengan nada bertanya:
Kenapa kalian semua memprotes penunjukkan
itu dan menambah berat bebanku lalu masing-masing menuntut jabatan itu (Tarikh Al-Yaqubi Juz kedua hlm.
126-27).
Pengangkatan yang dilakukan Abu Bakar dan sikap protes
Abdurrahman bin Auf ini membuktikan bahwa sang Khalifah sendiri tidak memahami
secara mendalam tentang logika sistem syura, juga menunjukkan bahwa ia sendiri
tidak merasa berhak menunjuk atau mengangkat seseorang sebagai pemimpin secara
absolut diantara seklan banyak sahabat lainnya. Sang khalifah tidak mempunyai
pemahaman bahwa pengangkatan demikian semestinya secara otomatis menuntut
konsekwensi dan loyalitas masyarakat Muslim agar taat dan mematuhinya tidak periu
sampai Abu Bakar menghimbau rakyat agar mematuhi pemimpin baru mereka. Surat
pengangkatan resmi yang dikeluarkan Abu Bakar itu bukan hanya sekedar usul atau
buah pendapat biasa namun surat tersebut bernada perintah dan ketetapan yang
bersifat absolut dan tak dapat diralat atau diganggu-gugat.
Terbukti, Umar juga merasa berhak mengangkat secara
individu seorang pengganti dengan cara menunjuk enam rekannya sebagai
calon-calon tetap dan terbatas dan orang-orang yang diluar enam anggota calon
itu hanya berhak mendengar, menonton dan puas dengan hasil saja. Suara orang
ketujuh disitu tidak akan digubris.
Pengangkatan versi Umar ini jelas tidak berdasarkan
syura yang pada dasarnya mengutamakan faktor pengam-bilan suara terbanyak.
Penunjukkan yang dilakukan Umar tidak terlalu berbeda dengan gaya penunjukkan
Abu Bakar kepadanya pada masa akhir hidupnya diatas ranjang. Kedua-duanya tidak
konsekwen pada nilai dan tuntutan Permusyawaratan yang ideal, yang mana
sebelumnya selalu mereka gunakan sebagai alat dan alasan dalam berkampanye pada
sidang Saqifah. Ketika ditawari jabatan kekuasaan oleh masyarakat Umar pernah
bergumam: Ia harus jadi pemimpin sekalipun Muhajirin menolaki Para Muhajirin
tak kalah gertak sambil berteriak lantang:
"Kami
adalah orang-orang diantara sekian banyak Muslimin yang pertama kali memeluk
Islam kemudlan jejak kami ditiru oleh orang-orang lain. Kami juga kerabat Rasul
dan golongan ningrat Arab!"
Dan ketika kelompok Anshar
mengajukan usul pemerintahan koalisi dengan dua pemimpin yang bergantian dalam
jangka masa jabatan tertentu dari pihak Muhajirin dan Anshar, Abu Bakar segera
menolak seraya berkata:
Tatkala Rasulullah diutus
saat itu kebanyakan masyarakat Arab merasa berat sekali untuk mencampakkan
ajaran nenek moyang mereka sedangkan kami saat itu (Muhajirin maksudnya)
dipilih oleh Allah dan diistimewakan dari pada seluruh orang karena kami berani
membenarkan semua ajaran yang dibawa dan disebarkannya. Kami adalah orang-orang
dekat dan kerabat bellau sekaligus orang-orang yang berhak dan pantas memegang
kekuasaan setelah wafatnya daripada selain kami. Dan yang berani membantah atau
memprotes atau merebut maka mereka adalah orang-orang yang zalimi.
AI-Khabbab bin AI-Mudzir dalam pesannya
kepada kubu Anshar telah berkata:
Bersatulah! Orang-orang lain sedang
menganiaya dan hendak merampas hak kalian. Jika mereka tetap bersikeras untuk
menolak, maka kita akan menuntuk dua pemimpin dari pihak kita dan pihak mereka.
Sikap AI-Khabbab tidak mendapatkan respon dan
tanggapan positif dan gagasannya langsung ditolak men-tah-mentah oleh Umar
dengan ucapannya:
"Tidak mungkin satu negara
dikendalikan oleh dua pemimpin ibarat dua pedang dalam satu sarung katanya). Siapa yang
berani merebut kepemimpinan Muhammad dari tangan ahli-ahli warisnya! Sedangkan
kami adalah orang-orang terdekat dan kerabatnya! Bagi kami orang yang masih
berniat merebut adalah orang-orang yang siap musnah dan celakal"
Cara penunjukan yang dilakukan oleh Khalifah Pertama
dan Khalifah Kedua, kemudian sikap pasif masyarakat terhadap cara tersebut dan
pda pikir generasi Anshar dan Muhajirin berikut ungkapan-ungkapan dan strategi
yang digunakan Muhajirin dalam upaya memonopoli kekuasaan dan wewenang terbatas
bagi kalangan mereka sendiri sekaligus langkah-langkah Muhajirin sendiri dalam mendiskriditkan
Anshar dan tidak mengikutsertakan mereka dalam Pesta kekuasaan lalu faktor
propaganda dan luapan-luapan sentimentil berbau kesukuan dan kesombongan yang
dikampanyekan dan disuarakan di Gedung Pertemuan Tertutup Saqifah Bani Sa'idah
seperti: Kami semua adalah masyarakat elite dan ningrat bangsa Arab dan kami
adalah kerabat Rasulullah! juga kesediaan dan kebulatan tekad kedua belah
pihak; Anshar dan Muhajirin dan penyesalan Abu Bakar yang telah memenangkan
kompetisi khilafah pada detik-detik terakhir dari masa hidupnya bahwa sangat
menyesal sekali "Mengapa dulu tak pernah kutanyakan pada beliau mengenai
siapa yang sebenarnya berhak dan pantas mengaku jabatan khalifah" Itu
semua membuktikan dengan jelas bahwa generasi Muhajirin dan Anshar termasuk
pribadi-pribadi yang berhasil mengambll alih tampuk kekuasaan belum memiliki
gambaran yang luas dan pengetahuan yang mendasar tentang konsep dan seluk beluk
syura secara sistematis. Bagaimana mungkin kita beranggapan bahwa Rasulullah
telah menggalakkan penataran syura secara konsepsional dan bahwa beliau telah
mempersiapkan dengan matang generasi Muhajirin dan Anshar untuk mengendalikan
pemerintahan dan mengemban tugas penyebaran missi dalam konteks sistem syura,
sedangkan kita sendiri belum pernah menemukan realita daripada sistem tersebut
dalam sepak terjang dan corak berfikir masyarakat Islam waktu itu.
Kita juga tidak beranggapan bahwa Rasul telah
menggariskan konsep syura secara sempurna dalam batas hukum dan pemahamannya.
Juga tidak terbukti beliau mengkader dan mengajarkannya secara sistematis dan
sempuma kepada masyarakat Muslimin.
Dan semua yang telah dilaksanakan Nabi dalam segala
aspek kehidupannya telah menunjukkan kepada kita bahwa beliau belum pernah
memaparkan syura sebagai konsep dan sistem yang baru kepada masyarakat, sebab
tidak mungkin konsep itu lenyap begitu saja dalam realitanya bila memang
benar-benar telah dihidangkan sebagai konsep yang harus diterapkan dan
dijadikan sebagai cara untuk membentuk pemerintahan baru.
Kenyataan tersebut dapat kita lihat dengan jelas
melalui keterangan sebagai berikut:
1. Sistem pemerintahan syura adalah sistem
yang serba baru dan mengejutkan bagi lingkungan dan kondisi Muslimin pada awal
kebangkitan Islam. Jika Rasul hendak membangun sistem baru, maka konsekwensinya
adalah semestinya menyodorkannya secara mendalam. Dan hingga saat ini belum
terbukti Rasul mengajarkannya kepada masyarakat dengan konsep syura tersebut.
2. Syura sebagai konsep yang
peka dan prinsipil tidak cukup hanya dibeberkan dengan begitu saja. Sebab jika
hanya demikian halnya, mungkin saja syura itu pernah dipaparkan tidak secara
sempurna dan mendetail tanpa batas-batas yang jelas dan perincian yang sempurna
tentang kriteria-kretria calon khalifah yang akan dipilih, dan syarat serta tolok
ukur pemilihan; apakah pemilihan tersebut berdasarkan pada jumlah dan kwantitas
ataukah berdasarkan mutu kepandaian dan kriteria-kriteria lainnya yang dapat
dijadikan gambaran dan batas-batas konsep-konsep tersebut sehingga dapat
dengan mudah diterapkan dan direalisasikan begitu Rasulullah wafat.
3. Pada hakekatnya syura itu dapat dikategorikan
sebagai tindakan masyarakat yang bertujuan membangun pemerintahan yang
berdasarkan pada sistem permusyawaratan dan berusaha bertindak menentukan nasib
sendiri. Ini merupakan tanggung-jawab bersama setiap orang yang tergolong
sebagai anggota tetap sidang permusyawaratan. Dan ini berarti jika konsep dan
sistem negara semacam ini sah dan dibenarkan Syari'at, maka tugas para sahabat
dan masyarakat pada saat itu meyakini bahwa konsep tersebut sebagai sistem
pemerintahan dan segera dijalankan tepat pada saat Rasul menghembuskan nafas
harumnya yang terakhir Dan perlu diketahui, pemilihan demikian tidak terbatas
bagi beberapa gelintir orang saja (sebagaimana yang terjadi dalam sidang
terbatas (Saqifah), sebab masyarakat semuanya harus diikutsertakan dan setiap
Muslim memiliki hak suara. Usul mereka sangat penting dan dibutuhkan sekali
demi suksesnya pemilihan umum, dan sebaliknya masyarakat harus merasa
berkepentingan dan bertanggungjawab mensukseskannya.
Atribut-atribut di atas telah menjabarkan
bahwa jika nabi telah dengan resmi memprakarsai syura sebagai konsep dan cara
yang sebenarnya bagi pembentukan sebuah pemerirrtahan baru setelah beliau, maka
semestinya beliau - selaku pemimpin dan pembina masyarakat yang arif dan
bijaksana - memaparkan konsep tersebut dengan mendetail dan bukan hanya
membeberkannya, bahkan harus mempersiapkan dan memupuk mental dan jiwa yang
kokoh serta menutupi setiap lubang, celah dan menatar mereka sedemikian rapih
dan sempurna dalam aspek; segi kwantitas dan kwalitas serta mutu pemahamannya.
Tidak mungkin konsep penting itu hilang dan cair begitu saja di tengah-tengah
masyarakat sejak Pemimpin Mulia mereka meninggal dunia.
Mungkin juga bisa dianggap
bahwa Nabi pernah menyodorkan konsep syura secara wajar dan sesuai dengan
bentuk dan kadar yang dibutuhkan oleh kondisi, kwalitas dan kwantitas, sehingga
masyarakat muslim dapat mencerna dan menjangkaunya, hanya saja faktor-faktor
politik secara tiba-tiba telah menutupi kenyataan yang sebenarnya.
Faktor-faktor tersebut telah memaksa masyarakat untuk menyimpan dan
merahasiakan apa yang mereka dengar dari Nabi tentang konsep syura serta hukum
dan perinciannya.
Tapi anggapan semacam ini
tidak praktis, sebab faktor tersebut bagaimanapun kandungannya tidak berkaitan
secara langsung dengan Muslimin kelas bawah yang terdiri dari lapisan
masyarakat sahabat yang tidak diberi bagian dan peran dalam percaturan serta
kejadian-kejadian politik yang timbul pada hari-hari setelah Nabi wafat dan
tidak ikut menghadiri sidang darurat Saqifah atau tidak berperan dalam sidang
tersebut. Sikap mereka adalah sikap penonton yang tenang dan menerima apa yang
ada. Perlu dicamkan baik-baik bahwa mereka adalah kelompok masyarakat
mayoritas.
Seandainya syura itu dipaparkan oleh Rasul sesuai
dengan kerangka dan bentuk yang diharapkan, maka konsep tersebut tidak hanya
didengar oleh beberapa orang dari pada sahabat tapi juga didengar dan diketahui
oleh seluruh lapisan masyarakat dan tentu terpantul secara alamiah dalam cara
dan tindakan kelompok biasa dari para sahabat tepat seperti terpantui dari
sabda dan hadist-hadist Rasul tentang keutamaan Imam Ali bin Abi Thalib dalam
cara dan tindakan para sahabat, sekalipun itu bertentangan dengan garis
pemikiran dan kondisi pada saat itu. Begitu juga halnya dengan konsep syura,
yang tidak terefleksi dalam cara berfikir mereka bahkan mereka sendiri saling
berselisih pendapat tentang berbagai sikap politik, yang kemudlan perselisihan
tersebut disusul dengan terpecahnya orang-orang yang selalu mengelu-elukan
syura menjadi beberapa golongan, yang mana setiap golongan meneriakkan syura
dan mengaku golongannya sebagai golongan yang konsekwen dengan nilai dan konsep
tersebut. Mereka jadikan syura sebagai alibi dan senjata guna mencapai
kepentingan polttis masing-masing. Sekalipun demikian halnya, mereka semuanya
tidak konsekwen dan setia dengan konsep yang mereka obral dan gembor-gemborkan
dan mereka sendiri tidak merealisasikannya sebagai sistem dalam membentuk
sebuah negara dan pemerintahan, sebagai konsep yang memang telah dicanangkan
Nabi. Kenyataan ini terlihat dengan jelas dalam sikap sahabat Thalhah terhadap
penun-jukkan Khaltfah Abu Bakar dan kekesalannya terhadap penunjukkan tersebut
dengan menggunakan syura sebagai senjata untuk menolak dan memprotes aksi
penunjukkan itu. Talhah mengecam sikap dan tindakan Abu Bakar itu sebagai
tindakan gegagah yang bertentangan dengan pesan dan konsep serta cara
bermusyawarah yang telah digariskan oleh Rasulullah S.A.W.
Jika memang benar, Nabi telah memupuk dan
merubah generasi pertama Muhajirin dan Anshar menjadi penegak dan
penyebar-penyebar dakwah dan sebagai generasi yang bertanggung jawab
mengembangkan proyek perombakkan, maka sebagai konsekwensinya Rasul seharusnya
memobilisasikan dan mempersiapkan secara matang generasi tersebut dalam
intelektualitas dan loyalitas agama, sehingga dapat memegang erat-erat teori
ini kemudian menerapkannya dengan penuh kesadaran dan pengetahuan yang dalam
serta menjadikan pedoman-pedoman petunjuk Rasul sebagai satu-satunya
penyelesaian kesulitan-kesulitan yang dapat menghambat kelancaran dan gerak
lajunya program penyebaran dakwah setelahnya. Apalagi telah kita ketahui bahwa
beliau sudah seringkali memberi kabar gembira akan tiba saat tum-bangnya
Monarki Kisra dan Kaisar. Itu semua pertanda bahwa proyek dakwah kelak setelah
beliau wafat akan menghadapi kesuksesan yang gemilang dan isyarat bagi
masyarakat bahwa jumlah Ummat Islam akan bertambah banyak dan tanah kekuasaan
mereka akan meluas dan membentang ke beberapa penjuru dunia dan pada saat
-sebagai akibatnya- Ummat Muslimin akan menghadapi dan memikul beban mengajari
dan mengenalkan Islam kepada bangsa-bangsa lain yang baru memeluk agama Islam.
Kabar gembira itu adalah merupakan peringatan bahwa
Muslimin akan menghadapi bahaya-bahaya dan pengaruh buruk yang timbul akibat
dari meluasnya tanah-tanah dan daerah kekuasaan Islam. Masyarakat juga akan
mengemban tugas berat mempraktekkan hukum dan memenuhl tuntutan penerapan
syari'at diatas daerah-daerah yang telah ditaklukkan dan bertugas menghlmbau
penduduk-penduduk daerah setempat agar mematuhi dan men-jalankannya. Kita maslh
beranggapan - hingga saat ini -bahwa generasi awal kebangkitan Islam Muhajirin
dan Anshar adalah generasi yang terbersih dan yang paling mampu mengemban
tugas menjaga proyek dakwah serta lebih loyal dan siap untuk berkorban. Tapi
gambaran tentang adanya upaya memobilisasi dan pemersiapan yang matang tentang
cara dan konsep yang jelas guna menjaga kelancaran dan mensukseskan program
penyebaran dakwah itu tidak terlihat pada tingkah laku dan cara berfikir
mereka. Dan tidak terlihat juga tentang adanya suatu operasi penataran dan
indoktrinasi yang intensif tentang konsep syura. Dan kertas sederhana ini tidak
cukup untuk memuat semua pembuktian-pembuktian tersebut, terialu banyak untuk
dijelaskan.
Terbukti, bahwa sabda-sabda Rasul yang
dibawakan oleh para sahabat tidak lebih jumlahnya dari pada beberapa hadith
saja. Padahal jumlah mereka melebihi dua belas ribu orang sebagaimana yang
termaktub dan tercatat dalam buku-buku hadith dan sejarah. Padahal Nabi sempat
hidup bermasyarakat bersama sekitar ribuan dari mereka di satu tempat dan di
satu masjid setiap pagi dan sore. Apakah dalam fenomena ini teriihat adanya
tanda atau gejala per-siapan dan pengkaderan konsep syura secara matang!?
Yang jelas adalah bahwa kebanyakan para
sahabat merasa risi dan enggan memulal membuka dan mengajukan sebuah pertanyaan
kepada Nabi, sampai-sampai - karena malasnya - salah satu dari mereka betah
menunggu berjam-jam saat kedatangan seorang Badui yang hidup diluar kota
Madlnah lalu menanyakan suatu masalah kepada beliau. Sehingga dengan begini
sahabat malas ini dapat mendengar jawabannya. Adalah suatu tindakan yang arogan
- dalam tradisi mereka - bila seseorang menanyakan suatu tentang hukum masalah
yang belum pernah mereka temukan dan terjadi!
Umar bin Khattab pernah berkata diatas mimbar:
"Deml Allah! Saya kesal terhadap orang yang
menanyakan sesuatu yang belum terjadi. Tugas Nabi adalah menjelaskan hukum
masalah yang sudah terjadi." (Sunan
Ad-Darimi 1/50).
Abdullah bin Umar ketika ditanya sesuatu
perkara yang belum pernah terjadi berkata:
"Janganlah sesekali menanyakan masalah
yang belum pernah terjadi, sebab saya pernah dengar rasulullah mengutuk sesiapa
yang suka menanyakan sesuatu hal yang belum pernah dialami."
(Sunan Ad-Darimi 1/50)
Ubay bin Ka'ab pernah berkata kepada
seorang yang menanyakan sebuah masalah kepadanya:
"Hai anakku! Adakah masalah yang kau
tanyakan padaku Itu sudah terjadi? Orang itu menjawab: Belum! Lalu Ubay
berkata: Jika belum pernah terjadi, maka jangan tanya kan dulu sampai jika hal
itu terjadi."
(Sunan Ad-Darimi 1/56)
Pada suatu hari Umar mengaji AI-Qur'an sampai terhenti
pada ayat yang berbunyi:
"Anggur dan
sayur-sayuran, zaitun dan pohon kurma, kebun- kebun lebat dan buah-buahan serta
abb (rumput-rumputan) untuk kesenangan dan untuk bmatang-binatang
ternakmu." (Q.S;
80:28-32)
Lalu
la berkelakar:
"Semua arti ayat ini saya tahu. Tapi apa arti "abb" disini?
Kemudian ia berkata' Demi Tuhan ini berarti mencari kesulitan sendiri (dengan
mencari arti) sebenarnya kalimat "abb". Jlka anda tidak tahu akan
arti kAlimat "abb" yang sebenarnya, maka tinggalkan dan tkutllah
kalimat lain yang sudah anda ketahui dalam KItab ini. Adapun kalimat yang tidak
anda ketahui artinya maka serahkan saja kepada Tuhan.
Tampak sekali betapa malas dan beratnya hati mereka
menanyakan masalah-masalah yang tidak benar-benar berkaitan dengan mereka
seharl-hari. Sikap demikianlah yang menyebabkan garis pemikiran ini akhirnya
kehabisan dalil dan hukum yang jelas. Itulah sebabnya mereka membutuhkan
sumber-sumber lain - disamping Sunnah Rasul dan AI-Qur'an - seperti Qiyas,
Istihsan dan lainnya, yang mana kesemuanya Itu merupakan faktor dan dasar-dasar
utama seorang Mujtahid, yang mana hal ini sedikit banyak telah menyihir seorang
untuk bertindak nekad dan ceroboh mengambil kesimpulan sebuah hukum baru.
Sikap dan cara berfikir golongan kedua ini sama sekali
tidak memantulkan adanya upaya penggemblengan dan penataran yang cukup tentang
konsep syura bagi generasi perintis Islam dan membuktikan dengan jelas bahwa
mereka tidak tahu menahu tentang batas-batas syari'at yang dapat menangani
kesulitan-kesulitan yang akan menimpa generasi pertama tersebut.
Para sahabat tidak hanya malas dan enggan memulai
membuka pertanyaan kepada Rasul tapi mereka juga enggan membukukan
hadits-hadits beliau, yang merupakan sebagai sumber kedua setelah AI-Qur'an.
Padahal pembukuan itu adalah cara satu-satunya untuk menjaga dan melestarikan
peninggalan dan hadist Rasul dari pada segala macam penyelewengan letak,
jumlah, pengertian harafiah dan lain-lainnya dan agar tidak punah dan lenyap.
AI-Harawy pernah membawakan sebuah hadits (yang mencela berbicara melalui)
Yahya bin Sa'ad dari Abdullah bin Dinar, la berkata: Para sahabat begitu juga
para tabi'in tidak pemah mencatat hadits-hadits mereka tetapi mereka dapat
mengutarakan secara harafiah. Bahkan Khalifah Umar - sebagaimana yang telah
diriwayatkan oleh Ibnu Sa'ad dalam bukunya Ath-Thabaqath - dilanda kebingungan
memikirkan sikap bagaimana yang paling baik untuk menghadapi hadits Rasul.
Kebingungan tersebut menyibukkan pikiran sang Khalifah hampir selama satu
bulan, kemudian la mengumumkan keputusan resmi melarang siapapun membukukan
sabda dan sunnah Nabi. Kemudian hadits - yang merupakan sumber terpenting kedua
dalam agama Islam - menjadi tak jelas nasibnya, ada yang dilupakan, ada yang
dinonfungsikan, ada yang dihapus, ada yang menjadi korban kepentingan politik
dan ada yang dirubah penafsiran, jumlah materi, letak dan perawihnya. Akhirul
hikayah hadtts-hadits tersebut ikut wafat tertanam di kepala orang-orang yang
hafal dan merahasiakannya di liang lahat setelah dia wafat.
Sebaliknya, aliran yang berorientasi kepada Ahlul Bait
serta ajarannya tetap tekun membukukan hadits-hadits dari pertama. Itulah
sebabnya mengapa buku-buku riwayat golongan Syi'ah menjadi berlimpah ruah dan
berjilld-jilid serta penuh dengan riwayat dan hadits-hadits yang dibawakan oleh
Imam-Imam dari keluarga suci Rasul yang ditulis Imam Ali dengan didikte Rasul.
Dalam buku-buku tersebut anda akan temukan ribuan riwayat dari Ahlul Bait dan
Sunnah-sunnah Rasulullah S.A.W.
Apakah generasi yang malas menanyakan hal-hal yang
mereka tidak ketahui dan enggan membukukan hadits-hadits pemimpin mereka itu
pantas dan mampu memimpin dan mengemban Risalah dalam segala proses
perkembangannya yang amat sulit dan mengkhawatirkan! Lalu apakah logis dan
pantas kita beranggapan bahwa Nabi telah meninggalkan sunnah-sunnahnya
berserakan dan terbengkalai begitu saja tak tertulis, padahal kita semua tahu
beliau selalu mengajarkan umatnya menjalankan sunnah-sunnah tersebut!?
Apa mungkin pesan-pesan Rasulullah dapat dipraktekkan
tanpa dibukukan? Atau jika memang benar Rasul memprakarsai konsep syura, maka
semestinya beliau menggambarkan dengan jelas undang-undang dan semua masalah
yang berhubungan dengan konsep tersebut dan mengatur serta menjuruskan
sunnahnya sedemikan rupa, sehingga dengan mudah konsep tersebut dtterapkan dan
berjalan sesual dengan metode dan strategi yang telah digariskan sehingga tak
dapat disalah-gunakan dan disetir atas kehendak setiap orang.
Bukankah anggapan satu-satunya yang rasionil adalah
Rasul bersikap positip-aktif terhadap prospek dan kelangsungan proyek
pengembangan dakwah setelahnya dan mempersiapkan seorang kader istimewa dan
berbobot.
Ali bin Abi Thalib sebagai tempat kembali dan rujukan
serta pemimpin setelah beliau dan mengajarkannya dengan segala nilai serta isi
sunnah beliau. Seorang tokoh muda andaian yang mana tingkat intelektualnya dan
kepandaian-nya - sebagaimana yang disebutkan Nabi - mengupas ilmu dalam setiap
bab menjadi seribu macam ilmu.
Kejadian dan perkembangan yang terjadi setelah Nabi
wafat telah membuktikan bahwa generasi yang terdiri dari kelompok Muhajirin dan
Anshar tidak mempunyai pengetahuan yang luas dan pemahaman yang cukup dan dapat
diandalkan dalam mengatasi problema-problema yang menganggu gerak majunya
program penyebaran dakwah, sampai-sampai penaklukan dan pembebasan yag
menghasilkan tanah-tanah yang sangat luas sempat membingungkan pikiran sang
Khalifah tentang gambaran dan hukum yang jelas untuk menangani pembagian
tanah-tanah penaklukan tersebut; apakah dibagikan antar pasukan yang ikut
menaklukan atau dibagikan sama rata antar kaum Muslimin semua.
Apakah logis kita beranggapan bahwa Rasul yang
menegaskan bahwa kaum Muslimin akan membuka tanah-tanah disekitar Jazlrah
Arabia menaklukan Qisra dan Kaisar, dan menjadikan generasi Muhajirin dan
Anshar selaku plhak-pihak yang kompeten dan bertanggung-jawab atas
penaklukan-penaklukan tersebut yang akan membuka tanah dan daerah-daerah luas
yang merupakan ladang baru dan subur bagi benih dan bibit-bibit unggul Islam!
Bahkan kita berkesimpulan lebih jauh dari semua ini.
Kita berkesimpulan bahwa generasi yang pernah hidup bersama Rasul tidak
mempunyai pengetahuan yang mendalam tentang masalah-masalah agama yang ringan
yang sering beliau lakukan dihadapan mereka.
Sebagai contohnya, kita ambil "Tragedi Shalat
Maytt yang menyedihkan". Shalat jenazah adalah ibadah yang ratusan
kali Rasul kerjakan secara terang-terangan dihadapan dan di tengah- tengah para
sahabat yang ikut mengerjakannya. Meskipun demikian, para sahabat itu dulu
tidak merasa perlu menghayati dan mengingat ibadah demikian, sebab (menurut
mereka) selama Rasul melakukannya mereka akan selalu mengikuti gerak-geriknya
dari belakang punggung beliau. Itulah sebabnya mengapa mereka ribut tak karuan
memperdebatkan jumlah takbir yang sebenarnya dalam shalat jenazah begitu
Rasulullah wafat.
Ath-Thahawi membawakan sebuah riwayat daripada
Ibrahim, yang demikian isinya: la berkata:
Rasulullah wafat sedangkan rakyat pada saat itu sedang
sibuk memperselisihkan jumlah sebenarnya takbir dalam shalat jenazah. Mereka menolak
kesaksian seseorang yang berkata di tengah-tengah mereka: saya pernah dengar
Rasulullah bertakbir tujuh kali. Sebagian berkata: Saya pernah dengar beliau
melakukan lima kali takbir. Lainnya bersuara: Saya dengar beliau mengerjakan
shalat jenazah dengan empat takbir. Maka kemudian semuanya sama-sama
mempertahankan pendapat masing-masing dan suasana diskusi tiba-tiba makin
tegang hingga berjalan terus pada saat Khalifah Abu Bakar putra Abu Quhafah
hampir menghembuskan nafasnya yang terakhir. Dan ketika Umar mengambil alih
tampuk kekuasaan, ia meninjau kembali masalah shalat mayit tersebut dan
mengutus beberapa orang dari sahabat Rasul dan berpesan kepada mereka:
"Kalian adalah sahabat-sahabat
Rasulullah. Jika kalian berselisih pendapat, masyarakat akan berselisih pula.
Tap! Apabila kalian bersepakat terhadap suatu masalah, maka masyarakat lain
akan sependapat dan pasti menglkuti. Maka dari itu lihatlah dan perhatikan apa
yang kalian sepakati, usahakan itu seolah-olah membangkitkan mereka. Para
sahabat itu menjawab: Ya, benar apa yang anda pikirkan wahai Amirul
Mukminin!"
(UmdatuI-Qarly, 4/129).
Begitulah adanya. Para sahabat pada masa
hidup Nabi menggantungkan semua urusan yang berkaitan dengan mereka kepada Nabi
sendiri, dan tidak merasa berkepentingan menyerap hukum-hukum dan faham-faham
baru semasa beliau masih hidup.
Mungkin sebagian orang menolak gambaran bahwa para
sahabat itu adalah tidak mampu menyerap dan mencerna hukum dan
pemahaman-pemahaman baru dengan alasan bahwa hal ini bertentangan dengan
keyakinan kita semua bahwa pendidikan Rasul telah membuahkan kesukseskan yang
gemilang dan telah berhasil menciptakan sepasukan generasi ideolog dan
revolusioner yang hebat dan dapat dibanggakan.
Sebagai jawabannya: Kita katakan bahwa sebelum kita
mengambil kesimpulan dan gambaran di atas, kita telah mempelajari dan melihat
kenyataan yang sebenarnya dari generasi besar tersebut yang ikut hidup
bersosial bersama Nabi, itu tidak bertentangan sama sekali dengan kenyataan
bahwa Rasul telah melakukan Operasi Pendidikan yang hebat dan mencengangkan
semasa hidupnya, sebab kita juga tidak menutup mata menolak kenyataan bahwa
cara yang dilakukan Rasul dalam upaya mendidik itu adalah langkah yang terhebat
sepanjang sejarah nabi-nabi. Dan kehebatan cara serta penerapan operasi
pendidikan beliau tidak harus tercerminkan dan tertakar dalam hasil dan ekses
serta pengaruhnya dalam cara berfikir dan cara bertindak para sahabat. Itu
harus kita pisah dan bedakan, sebab keduanya mempunyai subyek yang berbeda,
disamping kita juga harus memasukkan dan mempertimbangkan faktor situasi dan
kondisi serta kesamaran-kesamaran tertentu - yang masih belum bisa diungkapkan
- mungkin merupakan faktor utama dari tidak terpantulnya cara pendidikan lewat
Rasul dalam kehldupan sosial para sahabat. Dan kehebatan cara pendidlkan Rasul
serta hasilnya tidak bisa diukur atau ditakar dengan angka dan kwantitas
kesuksesannya dalam realita tanpa memasukkan faktor-faktor kwalitas. Sebagai
contoh:
Bila seorang guru mengajar beberapa murid mengenal
pelajaran bahasa dan sastra Inggris dan kita ingin mengukur kemampuan guru itu
dalam mengajar, maka kita tidak dapat hanya dengan melihat kemampuan dan sejauh
mana para siswa itu memahami bahasa dan sastra Inggris. Tapi kita harus
memasukkan faktor tempo, berapa lama guru tersebut mengajarkan bahasa Inggris
dan dengan memperhatikan latar belakang pemahaman para siswa - sebelum diajar
sang guru - terhadap bahasa Inggris. Disamping kita juga harus mempelajari
kesulitan dan hambatan-hambatan yang mungkin telah sedikit banyak mengganggu
kelancaran dan kelangsungan pengajaran bahasa Inggris tersebut. Mungkin kita
juga perlu meneliti niat dan kadar semangat guru tersebut dalam mengajar bahasa
Inggris: mengapa ia sampai terdorong mengajar bahasa dan sastra Inggris. Kemudian
dengan melihat hasil total terakhir pada ujian mereka dibandingkan dengan hasil
ujian dan pelajaran tahun sebelumnya serta sistem, situasi, dan kondisi yang
mungkin berbeda.
Dalam masalah penjabaran tentang operasi
dan upaya pendidikan yang digalakkan Rasul, kita harus menjadikan beberapa hal
sebagai bahan pertimbangan:
Pertama:
Jangka waktu yang relatif singkat dalam
melakukan usaha pendidikan, sebab itu melampaui dua batas waktu pergaulan
beberapa orang yang ikut bersama Rasul dalam menempuh jalan pertama. Dan itu
tidak lebih dari satu periods yang hidup pada saat itu masyarakat kebanyakan
dari kelompok Anshar, dan itu berjalan tidak lebih dari tiga atau empat tahun
daripada jumlah yang besar orang-orang yang masuk Islam, dimulai dengan pakta
perdamaian Hudaibiah dan berlanjut hingga penaklukkan kota Mekkah.
Kedua:
Situasi dan kondisi para sahabat sebelumnya
baik dari segi intelektual atau spiritual, agama dan operasional di samping
kebodohan dan krisis intelektualitas serta kevakuman dalam segala atau
kebanyakan aspek kehidupan mereka. Dan kiranya tidak diperlukan lagi pembuktian
dan informasi tambahan untuk mendukung kenyataan ini, mengingat hal Inl sangat
jelas dan gamblang bila kita memandang Islam sebagai serangkaian upaya dan aksi
perombakan-perombakan total dan mendasar ternadap masyarakat, bahkan Islam itu
dapat kita indentifikasikan sebagai perombakan dari bawah dan pembinaan Umat
baru yang mendasar dan bersifat menyeluruh. Dan ini semua menggambarkan betapa
jauh jarak moral dan kultural yang memisahkan antara Peradaban sebelumnya
dengan situasi baru pada zaman Nabi dengan memulai menggalakkan operasi
pembersihan masyarakat dari pengaruh budaya Jahiliyah mereka.
Ketiga:
Perkembangan-perkembangan politik yang muncul akibat
konflik politik dan pertentangan fisik (militer) di setiap front pertempuran
Itu merupakan ciri khas kondisi dan corak istimewa hubungan yang sejalan antara
Rasul dan sahabat-sahabatnya yang berbeda dengan corak hubungan Isa as. dan
Hawariyyinnya. Hubungan antara Nabi dan sahabat-sahabatnya bukanlah seperti
hubungan yang terjalin antara seorang guru dengan siswa-siswanya, tapi hubungan
yang terjalin antar keduanya adalah hubungan yang selaras dengan status dan
derajat terhormat beliau sebagai seorang Rasul, selaku Pendidik Utama, selaku
Panglima Perang dan selaku Pemimpin Negara.
Keempat:
Pertentangan dengan kelompok Ahlul-kitab serta
kontradiksi yang terjadi antara Islam dengan kebudayaan agama yang beraneka
warna yang merupakan baglan dari rentetan pertentangan dan pertlkaian ideologi
dan soslal yang selama ini dihadapi masyarakat Muslim itu merupakan penyebab
kegelisahan dan keresahan yang tak pemah kunjung reda. Dan kita tahu bahwa itu
- dalam tahap perkembangan - telah menciptakan suatu aliran pemikiran
isrAliisme (Israiliyyat) yang terserap secara diam-diam ke berbagal corak
pemikiran Islam yang murni atau masuk dengan didasari oleh tujuan jahat
berkonspirasi dan kemudian niat buruk ini sedikit banyak telah berhasil
menyusupkan pandangannya yang sesat ke pelbagai pemikiran Islam. Dan dengan
mengkaji dan menelaah AIQur'an secara seksama kita akan dapat dengan mudah
mengukur besar kecilnya pengaruh aliran pemikiran kelompok Kontra Revolusi
(Penyebar Israiliat) dan seberapa besar perhatian dan perlindungan Allah S.W.T.
melalui wahyuNya memantau dan membatalkan secara eksplisit maupun secara
implisit pemikiran-pemikiran rusak yang diproduksi oleh kelompok Anti Revolusi
tersebut.
Kelima:
Cita-cita yang hendak dicapai Rasul secara universal
dalam dekade itu adalah menciptakan sebuah pangkalan dan tonggak masa yang
kokoh dan dapat diandalkan sehingga dengan sendirinya mereka mampu
mengkoordinir proyek pengembangan dakwah Risalah - semasa hidup beliau dan
seterusnya - dengan meningkatkan kerja sama dan melanjutkan program pengembangan
tersebut melalui jalan yang telah digariskan sebelumnya. Tujuan dan cita-cita
beliau itu meningkatkan dan memupuk masyarakat sedemiklan rupa sehingga mampu
memimpin dengan sendlrinya secara langsung, sebab konsekwensi tugas berat ini
- kalau memang benar - adalah menuntut adanya pemahaman yang sempurna dan
menyeluruh tentang kandungan dan esensi Risalah Rasul dengan segala aspek hukum
dan nilai-nilainya yang tidak sedikit. Penentuan dan penggarisan tujuan pada
tahap itu adalah merupakan akibat pasti dari tindakan dan aksi perombakan,
sebab adalah tidak rasionil bila seandainya Rasul hanya menggambarkan tujuan
tanpa mempertimbangkan hal-hal negatif yang terjadi sebagai efek dari
kesalahan-kesalahan yang terjadi dl tengah perjalanan kelak. Dan kemungkinan
tentu terjadi pada situasi dan kondisi seperti yang dialami Islam. Hal ini
tidak mungkin dilakukan kecuali bila dilakukan dalam ruang lingkup yang telah
kami sebutkan diatas. Sebab jarak perbedaan moril, spirituil, intelektual dan
sosial yang memisahkan antara Islam (Risalah Baru) dan kondisi yang serba rusak
saat itu sangat fundamental sehingga tidak memungkinkan kesadaran dan kemampuan
politik sosial umat berkembang sampai tingkat kemampuan guna memimpin dan
mengemban tugas misi Risalah secara langsung. Ini akan terbukti pada pembuktian
keenam. Disana kita akan membuktikan bahwa kelanjutan Wishayah - atas dasar
pengalaman aksi perombakan yang baru - adalah tertampung dalam Imamah dan
kepemimpinan Ahli-Bait. Dan khilafah Ali adalah suatu hal pasti yang dituntut
oleh logika kamus perombakan dan pembaharuan sepanjang sejarah.
Keenam:
Orang-orang yang masuk Islam setelah penaklukan Mekkah merupakan
mayoritas masyarakat Muslim yang ditinggal Rasul meninggal. Yakni, mereka itu
masuk Islam setelah penaklukan Mekkah dan setelah Risalah menyebar ke berbagai
pelosok Jazirah Arabia dan menjadi kekuatan politik dan militer yang sangat
besar, sedangkan mereka tidak mendapat kesempatan yang cukup untuk lebih lama
bergaul dengan Rasul hanya dalam tempo yang sangat singkat di hari-hari setelah
penaklukan kota Mekkah usai. Mereka melihat Rasul tidak lebih dari seorang
pemimpin saja, mengingat periode itu bisa dikatakan sebagaj masa kejayaan yang
nyata bag! eksistensi Negara yang dibentuk Rasul. Dalam periode itulah muncul
konsep grasi bagi orang-orang yang dikenal dengan sebutan "AlmuAliafah
Qulubuhum" yang kemudian setelah melalui beberapa proses asimilasi
menjadi bagian masyarakat Islam lalnnya dan mereka mendapat perhatian dan
prioritas dalam hal zakat dan hukum-hukum lain. Mereka menjadi bagian dari
selayaknya Umat Muslim yang terkadang berpengaruh dan terkadang pula
mempengaruhi masyarakat besar tersebut.
Dengan memahami keenam hal di atas, kita dapat
menyimpulkan dengan hati lega bahwa pendidikan Nabawiah telah membuahkan
keberhasilan dan kesuksesan yang sangat gemilang dan tak ada duanya. Beliau
telah berhasil menciptakan perubahan yang unik dan mencengangkan. Nabi telah
melahirkan generasi kawakan yang mampu dan siaga. Generasi-generasi andalan Itu
adalah kenyataan dan manifestasi dari impian dan cita-cita luhur beliau
membangun suatu pangkalan dan tonggak masa yang mampu mengemban tugas menuntun
perjalanan dakwah selanjutnya. Generasi yang siap mengarungi pengalaman baru
yang belum pernah digelutinya. Itulah sebabnya mengapa generasi hebat tersebut
berfungsi sebagai pangkalan dan pondasi masa yang dapat dibanggakan selama Nabi
sendiri memimpin. Seandainya kepemlmpinan setelah Rasul itu berjalan terus
sesuai den-gan misi dan garis beliau dan berlandaskan agama yang sebenamya,
maka pasti pangkalan dan tonggak masa tersebut akan dapat memainkan peranan
pentingnya yang telah ditentukan. Tapi yang harus diingat penjabaran ini sama
sekali tidak memberi pengertian bahwa pangkalan dan pengawal Risalah Itu
dibentuk untuk mengambil alih tampuk kepemimpinan secara langsung dan
bertanggung jawab menuntun perjalanan baru yang akan ditempuh oleh misi Risalah
dan dakwah setelah Nabi wafat. Sebab pembentukan dan mobilisasi generasi
tersebut sebagai panitia penerap dakwah dengan sendirinya menuntut adanya
keutuhan loyalitas dan iman yang sempurna terhadap Risalah itu sendiri serta
memerlukan adanya kearifan yang betul-betul menyeluruh dan mendasar tentang
hukum dan ide-ide penyelesaiannya yang banyak dan saling berbeda terhadap kehidupan.
Dan pembentukan tim (pasukan) dengan tugas berat itu harus dimulai dengan
membersihkan tubuh tim atau generasi tersebut dari segala macam unsur dan
oknum-oknum Munafiqin, para penyusup dan segerombolan dari orang-orang Islam
kemarin (Almu'Aliafah Qulubuhum) yang masih merupakan bagian yang tak
bisa disepelekan dan dipisahkan dari generasi tersebut, mengingat jumlah dan
prosentasi mereka itu cukup besar dan Nabi harus membuka-buka lembaran hidup
masa lalu dan latar belakang mereka satu persatu dan dengan mempertimbangkan
pengaruh-pengaruh negatif dan kebiadaban Kaum Munafiqin sebagaimana yang telah
sering digambarkan dalam AI-Qur'an tentang tipu dan makar serta sikap-sikap
mereka yang sudah dikenal. Dan adanya beberapa orang yang terpercaya dan dapat
diandalkan dalam tubuh generasi tersebut telah sedikit banyak membantu
kelangsungan program pemupukan Ideologi yang kokoh dan projek pengkaderan itu
telah menghasilkan tokoh-tokoh revolusioner yang tangguh seperti Salman
Al-Farisi. Abu Dzar AI-Ghifari, Ammar bin Yasir
dan lain- lain.
Saya berani katakan bahwa adanya beberapa orang
seperti yang tersebut diatas di tengah-tengah generasi besar itu juga tidak
membuktikan bahwa generasi secara keseluruhan telah mencapai tingkat yang dapat
menjamin mereka mampu memikul tanggung jawab membina masyarakat dan menuntun
perjalanan dakwah atas dasar konsep dan sistem syura.
Dan orang-orang yang kita jadikan sebagai contoh dari
keberhasilan program pendidikan Nabi itupun tidak ada yang menampakkan dan
merasa mampu mengemban tugas dan telah slap dalam segi intelektual dan kultural
memimpin masyarakat dalam mengarungi perjalanan baru mereka meskipun ketulusan
dan loyalitas mereka tidak kita sangsikan dan pertanyakan lagi, tetapi ada
suatu titik rahasia yang harus kita ketahui bersama bahwa Islam bukanlah suatu
teori atau sebuah pendapat yang dicetuskan oleh seorang ideolog atau seorang
ahli hukum yang jenius siapapun, sehingga tergaris dan menjadi jelas setelah
diterapkan dengan benar-benar tepat dengan esensi ajaran Islam itu sendiri.
Islam adalah misi luhur Allah S.W.T. yang sejak semula sudah sempurna dan baku
dengan segala macam batas-batas dan nilai-nilai pemikirannya. Sebuah misi
sempurna yang telah diramu dengan rapi dan diperlengkapi dengan batas-batas
serta penetapan hukum yang merupakan kebutuhan dan syarat pasti bagi aksi
penerapan.
Maka memahami secara mendalam dan menghayati kandungan
Risalah seutuhnya adalah syarat yang tak bisa ditawar-tawar lagi, begitu juga
mengetahui semua hukum dan nilai serta ide-ide yang bersumber pada Risalah suci
tersebut. Sebab jika hal penting ini tidak dijadikan sebagai syarat maka
sebagai jalan keluarnya, generasi yang belum terdidik secara matang itu akan
mengenang kembali masa kejayaan jahiliyah dan kemudian mengambil pengaruh pemikiran
jahiliyah kuno mereka sebagai penyelesaian dalam menghadapi dan mengatasi
problema-problema serius mereka. Dan ini jelas akan membawa bencana dan
mengkeruhkan suasana dan sekaligus akan mengotori citra Risalah Allah yang
sudah disempurnakan itu. Lagi pula itu akan menimbulkan kesenjangan dan
kemacetan dalam gerak maju aksi penerapan yang diidam-idamkan Pemimpin Agung
Muhammad S.A.W. Bencana besar itu akan lebih tragis dan menakutkan bila kita
hubungkan misi Risalah Nabi dengan risalah-risalah para Nabi sebelumnya.
Kita semua tahu bahwa Risalah yang dibawa Nabi
Muhammad adalah merupakan penutup sekaligus pelengkap misi-misi sebelumnya yang
dibawakan oleh Nabi-Nabi sejak Adam as. Sebuah misi universal yang semestinya
berjalan terus seiring dengan perjalanan zaman kemudian menerobos bagaikan bah
melenyapkan segala macam batas waktu. teritorial dan ras. Hal-hal diatas
menuntut agar kepemimpinan ini dijalankan dengan rapi oleh pihak yang kompeten
dan mengerti sehingga kepemimpinan tersebut berjalan sesuai dengan garis
strateginya dan tidak terbentur dengan kesalahan-kesalahan fatal yang akibatnya
bila kesalahan itu berulang-ulang terjadi dan menumpuk, maka akan menimbulkan
bahaya besar yang dapat mengancam keutuhan dan kesuksesan program dalam proses
perjalanan dan perkembangannya.
Itu semua menunjukkan bahwa penataran dan upaya
mendidik yang dilakukan Nabi secara umum dikalangan Muhajirin dan Anshar tidak
seukuran dengan kebutuhan yang besar bagi penyiapan pimpinan yang sadar
intelektual sosial politik demi masa depan dakwah dan kesuksesan aksi
perombakan. Tapi yang beliau lakukan hanya mendidik dan mengadakan penataran
semacam penataran yang sengaja dilakukan guna membangun pangkalan dan pondasi
rakyat yang kokoh dan sadar akan tanggung jawab memimpin dan menuntun jalan
dakwah dewasa ini dan di masa mendatang.
Dan setiap anggapan yang kesimpulannya bahwa Nabi
telah berencana menciptakan kader profesional untuk memegang kekuasaan dan
menjadi pengawal pengawas tangguh projek dakwah di jajaran Muhajirin dan Anshar
adalah anggapan yang mengandung tuduhan yang sama sekaii tak berdasar bagi
pribadi seorang pemimpin IdeologI berpengaruh manapun dalam sejarah dan kamus
aksi perombakan dan revolusi ideologi, dengan menuduh bahwa Rasul tidak dapat
membedakan antara kesadaran yang dibutuhkan bagi sebuah pondasi dan pangkalan
masa demi dakwah dengan kelangsungannya dan kesadaran yang dibutuhkan bagi
pemimpin dan penggiring dakwah dalam segala aspek kehidupan politik, sosial,
kebudayaan, dan lain sebagainya.
Dakwah dapat dirasakan sebagai operasi
perombakan dan merupakan "Way of life" yang serba baru yang
dengan sendirlnya menyodorkan konsep dan rencana kerja bagi pembentukan
kerangka awal dalam masyarakat dan mencabut setiap akar dan pengaruh jahiliyah
serta membasmi semua sisa-sisanya yang berkarat.
Dan Umat Islam secara umum tidak
pernah hidup bersosial dibawah proyek operasi perombakan hanya dalam satu
dekade saja (dan inipun menurut perkiraan maksimal). Dan masa singkat tidak
memadai - menurut logika dan tradisi sejarah kebangkltan ajaran-ajaran baru -
untuk meningkatkan dan mengangkat generasi yang hanya sepuluh tahun bersama
Rasul sampai mampu mencapai kebebasan dan pembersihan total dan segala rnacam
pengaruh kemarin jahiliyah dan sekaligus dapat menampung segala nilai dan
ide-ide baru yang menjadikan mereka mampu meluruskan jalannya Risalah dan
mengemban tugas dakwah serta menyempurnakan projek perombakan tanpa bimbingan
seorang arsitek ulung dan pemimpin kaliber. Logika dan kamus sejarah ajaran dan
ideologi manapun telah menunjukkan betapa pentingnya menatar masyarakat dengan
tataran dan pendidikan ideologi secara intensif dalam jangka waktu yang cukup
lama sehingga dapat mengangkat masyarakat ke tingkat kesadaran yang sempurna.
Ini bukan hanya sekedar hasil atau sebuah
kesimpulan belaka, bahkan telah menggambarkan kenyataan yang terrefleksi dalam
kejadian-kejadian yang timbul sejak setelah Nabi wafat dan kenyataan tersebut
makin jelas setelah kurang lebih setengah abad yang terjelma dalam tindakan dan
pada hidup generasi Muhajirin dan Anshar dalam menjalankan tugas membawa misi
dakwah sepanjang perjalanannya, sebab pelancaran tersebut telah berlangsung
selama tidak lebih dari seperempat abad yang berakhir secara tragis dan
menyedihkan dengan timbulnya gejala kehancuran khilafah Arrasyidah yang telah
dimotori oleh generasi Muhajirin dan Anshar. Khilafah tersebut akhirnya tumbang
setelah mendapat beberapa pukulan beruntun dari musuh-musuh bebuyutan Islam
yang mana kehancuran itu terjadi dalam ruang lingkup perjalanan Islam dan tidak
terjadi di luarnya. Itulah sebabnya mereka berhasil mengambil alih dan
menduduki pos-pos penting sepanjang perjalanan dakwah secara bertahap. Mereka
kemudian - sebagaimana yang telah terbuktl dalam sejarah - berhasil mengelabui
dan memperalat aparat-aparat pemerintah yang tidak layak menjadi kurir dan
boneka-boneka yang dapat dikendalikan dari jauh. Setelah semua strategi dan
rencana pertama berjalan dengan lancar mereka turun ke lapangan; merampok
kekuasaan (kudeta) dengan kekerasan dan memaksa masyarakat serta generasi
senior mereka agar tunduk dan mengalah mengorbankan identias mereka (selaku
sahabat) dan kekuasaan mereka. Akhirul hikayah khilafah mereka sihir dan robah
secara drastis dalam sekejap mata menjadi kerajaan dan sistom monarki turun
temurun yang absolut; tidak menghargai hak asasi, menganiaya dan membantai
orang-orang yang tidak berdosa, menon-fungsikan hukum dan undang-undang dan
tidak memberlakukan batas-batas hukum (had-had seperti hukuman terhadap
perbuatan zina, dan lain-tain). Kedurjanaan dan kediktatoran berubah menjadi
tradisi dan fenomena yang wajar dalam kehidupan sehari-hari Umat Muslimin. Dan
khilafahpun tak ubahnya bagaikan bola-bola kecll yang ditendang dan
dipermainkan kesana kemari oleh bocah-bocah ingusan Bani Ummayah.
Maka, segala kejadian dan pengalaman yang
kerap kali terjadi sejak Rasul wafat dan segala akibat dan hasil-hasil yang
menyedihkan daripada perkembangan-perkembangan yang timbul selama kurang lebih
seperempat abad yang telah memaksa kami mengambil kesimpulan seperti diatas
bahwa tuduhan memberikan hak wewenang mengendalikan tali kekuasaan dan
menempati posisi tempat kembali bagi soal politik dan langkah-langkahnya kepada
generasi Muhajirin dan Anshar begitu Rasul wafat adalah tindakan yang terlalu dini
dan melanggar hukum alam yang normal. Oleh karena itu, adalah anggapan yang
tidak rasional bila dikatakan bahwa Nabi telah melakukan hal semacam ini.
ALTERNATIF KETIGA
Yang Ditempuh Rasul
Demi Kelangsungan Misinya.
Adalah cara satu-satunya yang rasionil dan selaras dengan hukum
pasti bagi kondisi yang ada pada dakwah itu sendiri, kondisi juru-juru dakwah
yaitu bersikap positif terhadap masa depan dakwah setelahnya serta memilih dari
sekian banyak sahabat (berdasarkan keputusan resmi dari Allah melalui NabiNya)
sebagai calon utama dan tunggal pengemban dakwah dalam perjalanan setelah
beliau meninggal. Dan Nabi bertugas mengisinya dan mengajarkannya segala macam
ilmu dan bahan-bahan yang diperlukan bagi seorang pemimpin yang bertugas
seperti Nabi sendiri memimpin Umatnya dan mempersiapkan ketahanan mental dan
loyalitas serta jiwanya sehingga mampu secara utuh menjalankan tugas sucinya
menuntun perjalanan dakwah dan melanjutkan program pengembangan dakwah dan
menyempurnakan proyek pembangunan pangkalan dan pondasi masa yang sadar dan
kokoh dalam tubuh generasi yang terdiri dari Muhajirin dan Anshar selaku
pengawal-pengawal dan pihak-pihak yang bertanggung jawab memimpin masyarakat di
bawah bimbingan seorang pemimpin kharismatik dan berbobot sekaligus mereka
berkewajiban memimpin umat secara operasional setelah mencapai tingkat
kesadaran dan loyalitas yang cukup untuk menerima tugas penting tersebut.
Dan begitulah seterusnya. Kita temukan cara dan jalan
keluar ini adalah cara dan sikap satu-satunya yang diambil Rasul dalam
menanggapi masa depan dan kelanjutan dakwah yang telah dirintisnya. Ini adalah
cara yang efektif dan dapat menjamin keselamatan perjalanan dakwah setelahnya
dan dapat melindungi proyek penyebarannya dari segala macam kelesuan dan gejala-gejala
kegagalan dan penyelewengan dalam sepanjang tahap dan proses perkembangannya.
Dan hadits-hadits mutawatir yang kita dapatkan dari
Rasul menunjukkan bahwa beliau telah melakukan persiapan matang dalam segi dan
intelektualitas dan loyalitas sebagian juru dakwah hingga mereka mencapai
tingkat seorang kader dan pemikir serta tokoh polltik. Rasul telah
mempersiapkan mereka sebagai calon-calon pengemban masa depan dakwah. Itu semua
merupakan tindakan Rasul dan cara ketiga yang past! telah ditempuh Rasul dan
membuktikan dengan jelas bahwa hal ini tidak bertentangan dengan hukum alam
seperti yang telah kita ketahui bersama.
Dan Ali bin Abi Thalib adalah satu-satunya orang
diantara beribu-ribu sahabat Nabi yang mempunyai peluang dan kemampuan serta
kesempurnaan segala kriteria dan syarat-syarat penting seorang pemimpin. Dia
adalah orang yang terpandai dan lebih arif dalam segala bidang daripada yang
lainnya. Dia adalah Muslim pertama dan pejuang ksatria yang tidak bisa
disamakan dengan siapapun yang gigih memperjuangkan misi Risalah dengan
membasmi penghalang dan perintang jalannya dakwah. Dia adalah pribadi yang
bersatu dan beradaptasi dengan seutuhnya dengan esensi Risalah. Dia dibesarkan
di pangkuan mertua dan misannya, Nabi besar Muhammad saw. Dia adalah anak
angkat yang selalu berada di sisi beliau. Hal mana pergaulan yang panjang ini
menghasilkan adanya persenyawaan antar dua pribadi yang mulia itu. Ali telah
lulus dengan predikat sangat dan terialu memuaskan berintegrasi secara
menyeluruh terhadap nilai-nilai dan ber-bagai aspek kehidupan Rasul yang pada
akhirnya mengistimewakan Ali di antara sekian banyak sahabat dan masyarakat
lainnya.
Dan perjalanan hidup Rasul dan Imam Ali telah dengan
jelas membuktikan bahwa Nabi telah menyelesaikan tugas utamanya dengan
mempersiapkan Ali dari segala kebutuhan seorang pemimpin sebagai perjalanan dan
masa depan misi yang telah dibawa oleh Rasul. Beliau telah memberikannya segala
macam hikmah dan rahasia-rahasia ilmu bagi seorang kandidat pemimpin agung umat
Islam, hingga teriihat perhatian beliau dengan cara mengajarkan-nya dengan cara
empat mata dan cara yang tertutup. Memberinya gambaran-gambaran tentang
berbagai halangan yang mungkin akan mengganggu gerak jalan dakwah setelah
beliau.
AI-Hakim dalam kitabnya AI-Mustadrak membawakan sebuah
riwayat dari Abi Ishaq yang demikian bunyinya:
"Aku pernah bertanya kepada AI-Qhasim
bin Al-Abbas: Bagaimana sampai Ali dapat mewarisi segala sesuatu yang Rasul
miliki? la menjawab: Ya, sebab la adalah seorang muslim pertama dan yang paling
teguh memegangnya."
Dalam kitab HilyatuI Awliya' tertulis sebuah riwayat yang telah
dibawakan oleh Abdullah bin Abbas. la berkata:
"Kami dulu pernah berbicara bahwa Nabi
S.A.W., memberi Ali tujuh puluh wasiat (janji pusaka) yang mana tidak pernah
beliau berikan kepada orang selainnya. An-Nasa'i meriwayatkan hadits melalui
Ibnu Abbas yang ia dengar dari Ali ketika berkata: Derajat dan posisiku di sisi
Rasulullah di atas semua makhluk."
"Dulu aku selalu menemui Nabi di
setiap malam. Bila beliau sedang melakukan shalat, maka bertasbih (isyarat
kepada Ali agar langsung masuk kerumahnya), lalu aku masuk. Bila beliau tidak
sedang melakukannya, Rasul segera menyuruhku lalu aku masuk:
Juga
An-Nasa'i dari Imam Ali. Dalam riwayat tersebut Imam Ali berkata:
"Di sefiap hari aku mempunyai dua saat
pertemuan Istimewa dengan Nabi. Yaitu pada waktu petang dan pada waktu siang.
Imam Ali dalam riwayat An-Nasa'i sendiri pernah berkata: Dulu segala sesuatu
yang kutanyakan dan kuminta penjelasannya, beliau pasti memberinya. SebAliknya
bila aku pasif dan diam tak mengajukan pertanyaan, beliau pasti memulai
bertanya kepadaku."
Hadith ini juga diriwayatkan oleh AI-Hakim dalam kitab
AI-Mustadraklis Shahihain yang menurut pendapatnya bahwa riwayat ini adalah
setingkat shahih Ala Syari’ Assyaikhain.
Dari Ummu Salamah dalam riwayat yang dibawakan An-Nasa'i; la
berkata:
"Demi Zat Yang Ummu Salamah bersumpah
dengan namaNya. Ali adalah orang yang terdekat dengan Rasul. Di saat Rasul
hampir di cabut nyawanya, beliau (Ali) mengutus beberapa orang untuk menghadap
kepada Rasulullah. Aku (Ummu Salamah) kira ia mengutus itu untuk suatu
kepentingan tertentu. Sebelum Ali datang memenuhi panggilan Rasul tersebut,
beliau bertanya: Sudah datangkah Ali? Pertanyaan itu beliau ulangi selama tiga
kali. Lalu tak berapa lama Ali datang menemui beliau diwaktu matahari belum
terbit. Dengan kedatangan itu kami (Ummu Salamah dan sahabat lain) tahu apa
yang sebenarnya yang Rasul ingin bicarakan. Lalu kami meninggalkan rumah beliau
yang pada waktu itu Rasul tinggal bersama istrinya Aisyah. Aku (Ummu Salamah)
orang terakhir yang meninggalkan rumah tersebut. Kemudian aku menyelinap di
belakang pintu rumah itu. Dan jarak pintu dan aku sangat dekat sekali. Kulihat
Rasul merangkulnya. Dan Ali adalah orang yang paling terakhir mendapat pesan.
la mengelilingi Rasul dan meminta bantuannya."
Amirul Mukminin dalam sebuah ceramahnya yang sangat populer pernah
berkata dan menerangkan hubungan istimewa yang terjalin antara pribadinya
dengan Rasul serta perhatian beliau. Uraian Ali itu demikian bunyinya:
"Kalian sudah tahu posisi dan
derajatku disisi Rasulullah dan mengetahui hubungan kerabatku yang sangat
dekat dan istimewa dengan beliau. Sejak kecil aku dipangku beliau. Aku
didekapnya lalu digendongnya dan ditidurkan diatas ranjang. Lalu mencium dan
menyentuh badanku dengan penuh kasih sayang. Beliau seringkali mengunyah
sesuatu makanan lalu memasukkannya ke dalam mulutku. Beliau tidak pernah
dapatkan aku berdusta dalam setiap ucapan dan tindakan dan aku tak pernah
melakukan suatu kesalahanpun. Aku selalu mengikuti jejak dan meniru prilakunya
bagai anak itik yang selalu meniru jejak induknya. Beliau setiap hari memupuk
dan mendewasakanku dengan segala nilai dan budi pekerti serta selalu mengimbau
agar aku terus mengikuti jejak dan perintahnya. Aku selalu menemani beliau
setiap tahun di gua Hira. Dimana pada saat itu aku melihatnya dan beliau tidak
melihat orang lain selainku. Kami bertiga dahulu adalah anggota keluarga
beragama Islam yang terdiri dari Rasul, Khadijah, dan aku sendiri yang ketiga.
Aku menyaksikan cahaya wahyu dan risalah. Aku sempat menghirup bau semerbak
kenabian."
Bukti-bukti ini dan lainnya banyak sekali
yang dengan jelas menggambarkan adanya suatu langkah hebat yang diambil Nabi
dalam upaya mengkader dan melatih loyalitas dan ketahanan jiwa mental Ali
terhadap risalah serta mempersiapkannya untuk memegang tali kendali kekuasaan
dan pimpinan perjalanan dakwah kelak. Sejarah dan biografi kehidupan Imam Ali
sejak setelah wafatnya Rasul selalu penuh dengan titik-titik dan tanda terang
yang menyingkap adanya penataran ideologi secara intensif terhadapnya yang
dilakukan Rasulullah. Kehidupan serta kebijaksanaannya yang telah merefleksikan
adanya upaya pendidikan khusus dan rahasia. la adalah tempat kembali dan
penyelesaian tunggal bagi segala macam problema yang tak dapat diselesaikan
oleh aparat dan pejabat pemerintahan Khilafah pada zaman itu. Dalam sejarah
pemerintahan dari ketiga khalifah itu tidak ada seorangpun yang selalu diminta
pendapat yang mewakili Islam dan jalan keluar dalam menangani masalah-masalah,
kecuali Imam Ali. Meskipun sikap partai yang berkuasa pada saat itu konservatif dan tak peduli terhadap masalah
hak kekuasaan yang sebenarnya selama berpuluh-puluh tahun, tetapt para aparat
dl jajaran tertlnggi partai berkuasa tidak merasa pertu meminta nasehat dan
saran Imam Ali yang merupakan wakil orisinil (tulen) Islam.
Jika terbukti Nabi telah mempersiapkan Ali secara
khusus sebagal penerus pembimbing dakwah, maka ini merupakan bukti bahwa Nabi
telah mengumumkan dan memproklamasikan penunjukan atas Ali secara resmi dan
serius pada rakyat secara keseluruhan sebagai inteleklual ideolog dan pemimpin
politik. Itu tercermin dalam hadits Addar, Ats-TsaqalaIn, AI-Manzilah,
AI-Ghadir serta segu dang hadits dan nash lainnya.
Dan begitulah seterusnya akhirnya kita dapat
men-getahui dengan jelas bahwa Syi'isme (Tasyayyu') tidak berada dl luar garis
strategi program dan rencana penerusan dakwah Islamiyyah yang dirintis deh
Rasul dimana tergambar dalam konsep nabawiyah yang telah beliau paparkan
sendiri atas dasar perintah Allah S.W.T. guna menjaga kelangsungan dan
kelanjutan program pengembangan dakwah.
Dengan demikian kita dapat berkesimpulan bahwa
Syi'isme bukanlah suatu fenomena atau gejala perkembangan sosial yang ganjil.
Syi'isme adalah bagian hukum sebab akibat dari kondisi serta kebutuhan yang
dengan sendiri telah memproses timbulnya faham tersebut.
Dengan kata lain, Rasul atau pemimpin pertama harus
melakukan tindak percobaan dan harus mempersiapkan untuk percobaan dan
perjalanan baru kepada pemimpin kedua yang beliau didik sedemikian teliti
sehingga mampu mengemban tugas secara sempurna dan selaras dengan tuntutan
kondisi dan situasinya. Dengan meneruskan kepemimpinan Nabi dalam
menyempurnakan tujuan dalam rangka mencabut seluruh akar dan pengaruh
jahilliyah yang masih tersisa pada masyarakat sekaligus membimbing dan
membinanya sehingga dapat diandalkan dan mampu memenuhi kebutuhan serta
tuntutan dakwah dan tanggungjawabnya.
PEMBAHASAN KEDUA
Bagaimana Lahirnya
Golongan Syi'ah ?
Setelah dengan jelas kita telusuri sejarah munculnya faham Tasyayyu'
dan mendapat pemahaman yang gamblang dan rasionil tentang faham tersebut, maka
kita menginjak kepada pembahasan kedua, yaitu dengan men-cari jawaban dari
pertanyaan bagalmana gdongan yang dikenal dengan nama Syi'ah dan bagaimana
proses terbelahnya Ummat Islam menjadi dua golongan sejak awal muncul
masyarakat Islam itu terbentuk.
Sebagai jawabannya, jika kita telusuri periode pertama
dari kehidupan Umat Islam pada zaman Nabi, kita akan menemukan adanya dua garis
pemikiran utama yang sangat bertolak belakang dan juga muncul berbarengan
dengan timbulnya masyarakat Islam. Perbedaan antara keduanya telah
mengakibatkan timbulnya beberapa perbedaan ideologis saat Rasul menemui
Kekasihnya. Yang mana Ideologi itu melahirkan perbedaan garis politik antara
dua kubu yang kemudian cenderung membentuk dua blok atau partai politik dalam
tubuh masyarakat Islam. Lalu salah satunya berhasil mengambil alih tampuk kekuasaan
yang mendapat simpati dan dukungan dari mayoritas masyarakat. Sebaliknya, kubu
lain yang tidak berhasil cenderung menjadi kelompok minoritas yang eksklusif
dan tersudutkan di tengah-tengah masyarakat yang tidak mendukung bahkan
memusuhi mereka. Kelompok minoritas tersebut adalah Syi'ah.
Dua kubu utama yang sama-sama menyertai masa lahirnya
dan terbentuknya masyarakat Muslim pada zaman Nabi itu sebagai berikut:
- Haluan pertama: menerima secara mutlak keputusan dan perintah agama tanpa pamrih, tanpa mengutamakan ide sendiri atas ketentuan tersebut dan menghayati serta meyakini hukum dan penyelesaian agama terhadap segala aspek kehidupan.
- Haluan kedua: beranggapan bahwa loyalitas dan iman kepada agama tidak menuntut penghayatan dan penerapan dalam bentuk praktek setiap masalah yang bersumber pada agama kecuali pada masalah yang bersifat ritual dan dogma. Selanjutnya lebih dari itu mereka mengutamakan ijtihad sebagai penyelesaian yang dapat menggantikan fungsi hukum agama dengan mempertimbangkan keadaan dan ukuran kepentingan yang dibutuhkan dalam segala segi kehidupan.
Para sahabat, disamping selaku generasi mukmin dan
cemerlang, mereka juga merupakan generasi yang teristimewakan dan ikut
berpartisipasi mensukseskan proyek pelancaran risalah. Sampai saat ini sejarah
belum pernah membukukan dan membuktikan adanya sebuah generasi yang lebih
handal dan hebat daripada generasi yang telah diciptakan oleh Rasulullah SAW.
Sekalipun kenyataan mereka itu demikian, akan tetapi adalah logis bila kita
beranggapan bahwa sejak masa hidup Rasul, telah terlihat adanya dua garis
pemikiran yang senang dengan pendapat pribadi yang mereka gunakan bila
kepentingan menuntut dan memaksa mereka untuk menanggalkan hukum dan ketetapan
agama yang telah tertera dalam nash-nash. Rasulullah seringkali terbentur
bahkan terganggu aktifitasnya akibat ulah dan pota pemikiran ini, sampai-sampai
ketika beliau sudah terbaring di atas ranjang terakhirnya. Disamping itu, kita
juga harus mengakui ada - pada masa hidup Rasul - yang menerima dan sama sekali
percaya sekaligus merealisasikan setiap ketentuan agama dalam setiap aspek
kehidupan mereka, baik ibadat, dogma politik, pemikiran dan lain sebagainya.
Mungkin faktor utama dari berkembang dan
tersebarnya pengaruh pemikiran ijtihadi (bil ra'yu) dikalangan Muslimin
adalah garis dan pola pemikiran seperti ini yang sedikit banyak bersatu dengan
naluri kecenderungan setiap orang yang selalu bertindak sesuai dengan
kepentingan dan kehendak pribadinya daripada bertindak atas dasar perintah dan
dorongan dari luar, yang terkadang belum dimengerti maksudnya.
Garis pemikiran ini dipelopori dan
disponsori oleh beberapa sahabat senior seperti Umar bin Khattab yang terkenal
nekad menegur dan mengkritik sebagian tindakan Rasul (yang adalah wahyu) dan
mengajukan pendapat pribadinya dalam beberapa masalah yang bertentangan dengan
teks ketetapan agama atas dasar alasan dan anggapan yang tampaknya rasionil
bahwa ia sebagai orang berakal berhak menyelesaikan sendiri beberapa urusan
yang mungkin penyelesaiannya itu tidak sama dengan penyelesaian yang telah
diajarkan agama.
Kenyataan ini terlihat dalam sikapnya yang
kontroversial dalam menanggapi fakta perdamaian Hudaibiyah dan kritiknya yang
tegas terhadap resolusi perdamaian yang disepakati dan ditanda tangani deh Rasul
dan langkahnya yang mengundang sensasi dengan menon-fungsikan Hayya 'ala
kholrll 'amal dalam panggilan azan yang telah diajarkan deh Rasulullah SAW.
la Juga sempat tenar karena langkahnya mencanangkan hukum modern dan
menanggalkan hukum lama Rasul dengan mengharamkan dan meniadakan Hajji Mut'ah (Tamattu)
dan ratusan pikiran-pikiran pribadinya yang tak asing lagi bagi kita.
Dua aliran pemiklran yang sangat berbeda itu pernah
bertemu dan tertumpah secara kebetulan di satu tempat dan wadah pada hari terakhir
hidup Nabi). Bukhori telah meriwayatkan dalam sahihnya dari Ibnu Abbas. la
berkata:
"Ketika Rasulullah hampir wafat
sedangkan di rumah beliau terdapat beberapa orang termasuk Umar bin Khattab,
belau bersuara: Mari kutullskan untuk kalian sebuah pusaka (yang jika kalian
mengikutinya) maka kalian tidak akan tersesat untuk selama-lamanya.
TIba-tiba Umar
berseloroh:
"Penyakit Nabi itu sudah terlalu parah
sehlngga bellau mengigau, apa perlunya tulisan itu sedangkan Al-Qur'an ada di
sisi kalian. Sudahlah, AI-Qur'an itu sendiri cukup sebagal pedoman bagi
kita".
Pernyataan Umar ini akhirnya mengundang
keriuhan dan perselisihan pendapat di antara orang-orang yang berkerumun
menengok Rasul yang sedang terbaring sakit. Sebagian berkata:
"Berikan! Beliau
hendak menuliskan sebuah pedoman untuk kalian yang akan dapat menyelamatkan
kalian kelak."
Sebagian yang lain mendukung Umar menolak
memberikan secarik kertas kepada Nabi Besar Muhammad SAW. Selang beberpa saat,
rumah Rasul tersebut berubah menjadi ajang perang mulut antar sahabat yang
berkerumun mengelilingi bellau. Akhirnya, Nabi dengan kesal mengusir mereka:
"Ayo enyahlah kalian!"
Begitulah perintah Rasul.
Tragedi bersejarah ini dengan jelas membuktikan dan
menggambarkan betapa jauh dan mendasarnya perbedaan antara dua gdongan adalah
peristiwa perselisihan dan cekcok yang muncul akibat dari penunjukkan Rasul
kepada Usamah bin Zaid bin Harits sebagai Panglima devisi perang, padahal
penunjukkan itu berdasarkan perintah langsung dari Nabi yang tak dapat ditolak.
Sampai-sampal beliau bangkit dari ranjang dengan memaksakan tubuhnya yang sudah
lemah lunglai untuk keluar dari rumah dalam keadaan sakit bellau mengetuh kesal
di hadapan pengikutinya:
"Wahai ummati Desas-desus apa yang aku
dengar tentang penunjukkan Usamah (sebagai panglima perang)? Tetapi mengapa
dulu kalian tidak menolak penunjukkan ayahnya sebagal panglima. Demi Tuhan! la
pantas dan mampu memegang jabatan panglima!"
Dan kedua haluan yang memulai konflik dan perselisihan
pada masa hidup Rasul telah tampak dalam sikapnya terhadap masalah pimplnan
Imam setelah Nabi
Orang-orang yang mewakili garis nash berpendapat bahwa
adanya nash dan ketetapan Rasul berkenaan dengan hak kekhalifahan merupakan
sebab dan dasar prinsip yang mengharuskan seorang Muslim agar menerima secara
mutlak segala macam keputusan dan hukum agama tanpa menggantinya dengan gagasan
sendiri karena beberapa pertimbangan kepentingan disamping kondisi dan situasi
yang ada (ini menurut logika dan pola pemikiran mereka tentunya).
Dengan demikian kita dapat berkesimpulan bahwa
golongan Syi'ah telah hadir dl tengah-tengah masyarakat Islam sejak pada masa
hidup Rasul yang beranggotakan orang-orang Muslim yang secara praktis telah
mematuhi dengan mutlak konsep dan ketetapan Ali bin Abi Thalib sebagai pemimpin
setelah Rasul. Dan haluan yang berfaham Syi'ah kemudlan leblh menjelma dalam
kerangka bentuk yang jelas pada saat pertama dart sikap protes dan menolak
keputusan yang telah diambil pada sidang darurat Saqifah Bani Saidah yang telah
membekukan fungsi pimpinan Ali dan mengambil alih serta memberikannya kepada
orang lain.
Ath-Thabarsi dalam buku Al-lhtijaj membawakan sebuah
riwayat dari Ibban bin Taghib. la bertanya kepada Imam Ja'far bin Muhammad
ash-Shadiq:
"Kujadikan diriku tebusan darimu.
Apakah ada orang yang menolak kepemimpinan Abu Bakar di antara para sahabat
Rasullah?" Imam menjawab:"Ya. Dua belas orang, dari kaum Muhajirin
yang menolak; mereka itu adalah Khalid bin Said bin Abi Al'ash, Salman
AI-Farisi, Abu Dzar AI-Ghifari,
Miqdad bin AI'aswad, Ammar bin Yasir, Buraidah Al'aslami. Dan dari pihak Anshar
adalah Abul Haitsam bin Attihan, Utsman bin Hunaif, Khuzaimah bin
Tsabit Dzus-syahadatain, Ubay bin Ka'ab dan Abu Ayyub AI'anshari".
Mungkin anda atau siapapun saja ingin
mengatakan hal ini, yaitu jika memang benar haluan Syi'ah itu adalah yang teguh
menerima ketetapan secara mutlak dan menerapkannya dalam bentuk praktek
kehidupan mereka dan bahwa haluan yang lain lebih mengutamakan pikiran sendiri
daripada menerima secara mutlak ketentuan agama, maka ini berarti haluan nash
lebih picik dan tidak menggunakan akal sehat. padahal selama ini haluan dan
golongan Syi'ah menggunakan ijtihad dalam syari'at amat sering.
Jawabannya adalah: Ijtihad yang dibenarkan bahkan
terkadang wajib (kifayah) yang digunakan adalah ijtihad yang mempunyai
definisi menyerap suatu hukum dari nash dan ketetapan syar'i. Tapi dalam kamus
mereka ijtihad itu bukanlah menggunakan pikiran sendiri daripada menerima suatu
ketetapan yang jelas dari agama. Dan ijtihad itu tidak hanya digunakan atas
dasar ingin mencapai tujuan dan memperoleh keuntungan pribadi sendiri. Ijtihad
demikianlah yang tidak dibenarkan, sebab ini bertentangan dengan keputusan
agama. Dan Syi'ah menolak hak wewenang ijtihad yang demikian. Dan yang kita
maksudkan kandungan misi Risalah yang baru. Bertindak dari sini kita dapat
ketahui bahwa garis pemikiran yang berorientasi kepada nash itu adalah golongan
yang lebih menghayati Risalah dan menerimanya secara menyeluruh sekaligus tidak
menolak fungsi ijtihad selama ijtihad tersebut tidak bertentangan dengan nash
dan selama ijtihad itu bersumberkan hukum syari'at yang sudah ada. Patut
diketahui bahwa sikap menerima sepenuhnya ketetapan nash tidak berarti picik
dan kedangkalan berfikir yang tidak peduli akan perkembangan dan
tuntutan-tuntutannya serta bertentangan dengan faktor-faktor yang dapat
menunjang kemajuan dan program pembaharuan yang beraneka warna terhadap
kehldupan manusia.
Maka sikap menerima nash agama mutlak, artinya
bertindak atas dasar tuntutan dan ketetapan agama tanpa memilih-milih yang
kelihatan ringan. Padahal agama itu adalah selaras dengan kelembutan dan
berjalan seiring dengan kemajuan dan perkembangan zaman serta mencakupnya
segala macam corak dan ciri kemajuan dan pembaharuan. Maka bersikap menerima
secara mutlak setiap ketetapan agama berarti bersikap menerima segala macam
faktor yang dapat menunjang kemajuan, termasuk kreatifitas dalam menciptakan
sesuatu yang baru, melakukan pembaharuan terhadap beberapa pemikiran dan
gagasan, dan seterusnya.
Ini semua merupakan garis besar dari penafsiran
tentang Syi'ahisme sebagai suatu fenomena dan peman-dangan yang logis dan lazim
dalam ruang lingkup program dan strategi pengembangan dakwah serta penafsiran
tentang timbulnya gdongan Syi'ah sebagai refleksi dan cermin jari fenomena yang
alami tersebut.
Dan kepemimpinan Ahlul Bait serta Ali yang merupakan
fenomena logis itu mempunyai dua fungsi utama dalam teori kepemimpinan. Fungsi
pertama selaku Pemimpin dalam bidang pemikiran budaya dan intelektual. Fungsi
kedua sebagai pembimbing dan arkitek projek perombakan dalam bidang sosial.
Kedua fungsi kepemimpinan itu bersatu dan tertumpah dalam satu wadah yang
terjelma dalam pribadi Nabi. Kemudian setelah meneliti secara seksama situasi
dan kondisi yang ada, beliau mempersiapkan seorang kader handal yang mampu
berfungsi sebagai pemimpin dari keduanya secara sempurna, sehingga fungsi
kepemimpinan intelektual dapat mengisi kekosongan yang ada pada pola berfikir
masyarakat. Sekaligus Rasul bertugas menghidupkan suatu gambaran dari pemahaman
yang cocok dan relevan sebagai jalan keluar yang mewakili Islam dalam
menanggulangi problema-problema pemikiran dan kehidupan serta menerapkan satu
demi satu nllai-nilai dan pikiran-pikiran yang tersirat dalam AI-Qur'an yang
sangat rumit dan kurang Jelas. yang mana Kitab Sucl tersebut merupakan sumber
utama dan khazanah bag! pemikiran dan intelektual Islam. Disamping agar supaya
kepemimpinan sosial berfungsi meneruskan perjalanan Islam di atas garis target
sosialnya.
Dan kedua fungsi kepemimpinan tersebut terdapat pada
Ahlul Bait sesuai dengan kondisi yang telah kita pelajari atas dasar nash-nash
Nabi yang telah menekankan hal tersebut berkali-kali. Contoh utamanya ialah
nash-nash Nabi tentang kepemimpinan intelektual seperti hadits Tsaqalaian
Rasulullah yang berbunyi demikian:
Aku tinggalkan untuk kalian dua pusaka
penting(as-Tsaqalain); yaitu
Kitab Allah yang merupakan tali yang tak terputus dart langit hingga ke bumi
dan yang keduanya adalah Itrah (keturunanku) dari Ahlul Baitku. Dan bahwa
keduanya tidak akan terpisah dengan kedua fungsi masing-masing sampai keduanya
menjumpaiku di telaga al-Haudh alkaut'sar, oleh karena itu lihatlah kelak
bagaimana sampai kalian mendurhakaiku dengan melanggarnya. (AI-Hakim
dalam Al- Mustadrak, At-Tirmidzi, Annasa'i, Ahmad bin Hanbal, dan lain-lain
yang diriwayatkan oleh lebih dari dua puluh sahabat).
Dan contoh utama dari fungsi kepemimpinan sosial
adalah hadits AI-Ghadir yang dibawakan oleh Ath-Thabrani dengan sanad (rantai
urutan perawi) yang shahih dari Zaid bin Al-Arqam. la berkata:
"Rasulullah pernah berpidato di daerah
Ghadir Khum di bawah pohon, beliau bersabda: Wahai manusia! Aku akan diminta
pertanggung-fawaban dan begitu juga kalian. Lalu bagaimana kalian mengatakan
dan menanggapi ini semua! Para sahabat serentak menjawab: Kami bersaksi bahwa
engkau telah menyampaikan, telah berjuang dan telah menasehati, maka semoga
Allah mem-balas jasa kebaikanmu dengan kebaikan pula. Lalu beliau meneruskan
dan bersabda: Bukankah kalian bersaksi bahwa sesungguhnya tiada Tuhan selain
Allah dan bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya dan bahwa surga dan
neraka-Nya adalah benar dan nyata dan bahwa mati itu benar dan bahwa saat
Kiamat itu pastf tiba dan bahwa Allah akan membangkitkan setiap orang yang terpendam
dalam kubur! Mereka serentak menjawab: Ya! Kami bersaksi demikian. Lalu beliau
melanjutkan lagi: Ya Allah! Saksikanlah. Selanjutnya bersabda kepada hadirin:
Wahai ummat! Allah adalah Pemimpin dan Kekasihku, dan aku adalah pemimpin
setiap mukmin dan aku lebih utama (awla) dan lebih berhak atas diri kalian
sendiri. Maka, barangsiapa yang menganggapku sebagai pemimpinnya (maulahu),
maka orang ini (Ali disebelah beliau) adalah pemimpinnya (maulahu) juga. Ya Allah! Cintailah setiap orang yang
mencintainya dan musuhilah orang yang memusuhinya!"
(Hadits ini diriwayatkan lebih delapan
puluh tabi'in. Dan dari penghafal hadiths abad kedua sekitar enam enam puluh
orang. Dan juga tercatat secara rinci dalam kitab AI-Ghadir dalam sebelas
jilid).
Dengan demikian kita dapat berkesimpulan bahwa kedua
nash dan hadits Rasul tersebut telah menyerahkan dua fungsi dan wewenang kepada
Ahlul bait. Dan yang berpegang teguh kepada nash dan ketetapan Rasul dalam hal
dua hak wewenang kepemimpinan itu adalah termasuk golongan Muslim yang
mengikuti dan menganggap Ahlul Bait bagi pemimpin dan tempat kembali mereka.
Seandainya fungsi pimpinan sosial bagi setiap Imam itu mem-punyai pengertian
bahwa mereka memimpin dan berkuasa dalam hidupnya, maka fungsi kepemimpinan
intelektual dan pemikiran budaya adalah kenyataan yang tak dapat dibantah
terlepas dari kehidupan sosial politiknya sebagai pemimpin dalam hidupnya. Dari
sini kita dapat melihat kenyataan tersebut dalam setiap waktu. Karenanya,
selama Umat Muslimin membutuhkan suatu pemahaman yang jelas dan sempurna
tentang Islam dan ingin mengetahui hukum halal dan haram dalam setiap perkara,
pasti mereka memerlukan adanya kepemimpinan intelektual yang jelas pula dan itu
ditetapkan Allah sendiri melalui lidah Rasul yang terjelma dalam:
1.
Kitab
Suci AI-Qur'an.
2.
Itrah
yang bebas dari dosa dan Ahlul Bait Rasul.
Keduanya tidak dapat dipisahkan atau diambil salah
satu darinya sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Nabi.
Adapun garis pemikiran lain dari golongan
Muslimin yang ijtihad dijadikan dasar pemikiran daripada mengikuti nash dan
ketentuan agama secara mutlak, maka tokoh-tokoh senior pemikiran ini sejak
Rasul wafat telah berhasil mengambil alih kekuasaan dan menyatakan berfungsi
sebagai pemimpin sosial politik secara operasional dan dikelola oleh kaum
Muhajirin yang bergaris politik lunak dan selalu berubah mengikuti kemajuan dan
pertimbangan strategis serta memantau kondisi dan situasi yang ada.
Atas dasar pemikiran inilah Abu Bakar mengambil alih
kekuasaan begrtu Rasul menghembuskan nafasnya yang terakhir dengan menggunakan
Saqifah Bani Saidah sebagai Sidang Parlemen Sementara dan ajang perebutan
sengit kekuasaan antara Muhajirin dan Anshar yang terbatas bagi beberapa
gelintir orang dari kedua golongan tersebut kemudian rekan sejatinya - Umar -
menggantikannya atas perintah mendiang Abu Bakar, lalu tongkat estafet khilafah
diambil oleh pengganti ketiga Utsman bin Affan atas dasar penunjukkan tertentu
dan hanya terbatas bagi enam orang yang telah ditunjuk secara pribadi oleh Umar
bin Khattab.
Akhirnya sikap lunak ini yang lewat tiga abad sejak
masa wafat Rasul telah berhasil menciptakan malapetaka terbesar sepanjang
sejarah Umat Islam dengan kembalinya khilafah dan kekuasaan kepada orang-orang
Islam mualaf dan para bekas musuh Rasul yang kemudian disihirnya menjadi
pewaris duniawi dan kerajaan monarki yang pindah dari anak ke cucunya, dari
saudara ke adiknya dan tamatlah riwayat khilafah yang selama ini dielu-elukan
oleh kaum Muslimin.
Inilah kenyataan yang tragis dari orang-orang yang
sebenarnya tidak berhak dan tidak mampu menjabat sebagai pemimpin sosial
politik. Lain halnya kenyataan dari fungsi kepemimpinan intelektual budaya,
sebab sulit rasanya kita mengatakan bahwa mereka yang berkuasa dalam bidang
politik sosial juga berfungsi secara nyata sebagai pemimpin intelektual dan
pemikiran setelah kita ketahui bersama bahwa ijtihad dan kecanduan menggunakan
pikiran sendiri telah mencabut hak wewenang Ahlul Bait sebagai pemimpin politik
sosial secara operasional dan praktis, sebab akibat dari itu semua adalah
terciptanya kondisi obyektif yang menunjang kepemimpinan mereka sebagai
pemimpin dan penguasa. Adapun sebab dari keberatan kita untuk beranggapan bahwa
mereka yang berhasil mengambil alih kekuasaan dan pimpinan politik sosial
secara operasional telah berfungsi sebagai pemimpin intelektual dan budaya,
adalah fungsi kepemimpinan intelektual berbeda dengan fungsi kepemimpinan
politik sosial. Bila seorang khalifah merasa berhak dan mampu menjadi pemimpin
intelektual dan menjadi panutan pemikiran atas dasar AI-Qur'an dan Sunnah dalam
memahami teori tersebut. Dan terbukti bahwa para sahabat tidak mempunyai
kemampuan dan tidak memenuhi syarat penting tersebut, lain halnya bila kita
melihat Ahlul Bait dengan segala kemampuan mereka dan tergambar dalam nash
serta bukti-bukti yang sudah ada.
Oleh karena itu, fungsi kepemimpinan intelektual
budaya lebih penting daripada fungsi kepemimpinan sosial politik dan lebih
berperan selama beberapa dekade Dan akhimya, para penguasa dan khalifah
memberikan kepada Imam Ali fungsi pemimpin intelektual - tidak dengan formal -
karena mempertimbangkan satu dan sebab lalnnya. Sam-pai-sampai khalifah kedua
seringkali becsumpah dengan memuji kepandaian Ali dalam menyelesaikan
masalah-masalah intelektual. la selalu berkata:
"Seandainya Ali tiada, maka pasti Umar
celaka dan binasa. Allah akan membfarkanku SQlamanya terbentur dengan kesulftan
bila Abul Hasan (Alil) tidak segera menyelesaikannya."
Tapi setelah melalui beberapa masa sejak Rasul wafat
dan kaum Muslimin luntur secara bertahap dari loyalitas dan rasa hormatnya
terhadap Ahlul Bait Rasul dan tidak lagi memfungsikannya sebagai tokoh dan
pemimpin dalam bidang pemikiran, dan sebaliknya mereka sedikit demi sediktt
memandang Ahlul Bait sebagai orang-orang yang tidak lebih dari mereka dan
bahkan menganggap mereka sebagai awam. Sikap ini telah memproses mereka menjadi
tidak lagi membutuhkan pemimpin intelektual dari Ahlul Bait dan mengambil
pikiran sendiri sebagai gantinya. Dan bukan sang khalifah sebagai pengganti
pemimpin intelektual Ahlul Bait secara tunggal tapi hak kepemimpinan ini
mencakup seluruh sahabat. Dan selanjutnya mereka muncul sebagai
pemimpin-pemimpin intelektual dan pemikiran dan mereka mengucapkan
"selamat tinggal" kepada rombongan Ahlul Bait yang telah ditunjuk
secara sah sebagai pemimpin intelektual disamping pemimpin sosial polltik,
sebab para sahabat adalah generasi yang hidup bersama Rasul dan mengikuti
setiap langkah dan perkembangan misinya serta menghayati dan mematuhi tuntutan
sabda dan Sunnah beliau.
Secara praktis nyata bahwa Ahlul Bait kehilangan
fungsi istimewa sebagai pemimpin-pemimpin intelektual dan pudar di
tengah-tengah para sahabat, dan mereka berstatus tidak lebih sebagai seorang
sahabat Rasul saja yang semuanya berhak dan berfungsi sebagai pemimpin-pemimpin
intelektual. Dan sebagaimana yang telah terbukti dalam sejarah para sahabat,
mereka selalu hidup di bawah situasi pertikalan yang terkadang meminta darah
dan korban yang tidak sedikit dalam setiap peperangan yang mereka kobarkan sendiri.
Masing-masing pasukan menganggap lebih konsekwen terhadap nilai dan kebenaran
serta saling tuduh sebagai pengkhianat dan penyeleweng.
Saya katakan bahwa sebagai akibat dari perselisihan
dan perang tuduh yang terjadi antara orang-orang yang berfungsi sebagai para
pemimpin itulah timbul aneka warna pertentangan ideologi dan pemikiran dalam
tubuh masyarakat Islam, yang merupakan cermin dari pelbagal pertikaian yang
terjadi antar kalangan pemimpin sendiri yang berhaluan ijtihadi.
KEKELIRUAN MEMANDANG TASYAYYU'
Sebagai penutup, perlu saya jelaskan suatu
hal yang sangat penting, yaitu sebagian dari cendikiawan modern kita berusaha
dengan penuh semangat membedakan dan membagi Syi'ahisme atau Tasyayyu' menjadi
dua macam:
1.
Tasyayyu' Ruhi Maknawi (Syi'ah
datam moral dan spiritual).
2.
Tasyayyu' Siasi (Syi'ah dalam
masalah soslal politik).
Dan mereka juga dengan susah payah ingin membuktikan
bahwa Ahlul Bait sejak setelah pembantaian Imam Husain dan keluarga serta
sahabatnya di padang Karbala telah meninggalkan aktifitas politik, sebaliknya
mereka menyibukkan diri dengan berkhalwat dan beribadat serta memberi wejangan
dan nasehat kepada masyarakat.
Tasyayyu' sejak lahir tidak pernah tergambar sebagal
garis haluan spiritual saja tetapi ia lahir sebagai konsep yang telah
dicanangkan Rasul demi kelancaran dakwah di bawah kepemlmplnan Ali bin Abi
Thalib setelah Rasul wafat baik dalam segi intelektual ataupun dalam segi
politik sosial secara sama rata, sesuai dengan kondisi yang telah memproses
timbulnya faham itu.
Dan atas dasar yang telah kita pelajari di atas, kita
tidak menemukan adanya perbedaan antara Syi'ah spiritual dan Syi'ah politik
dalam konsep Tasyayyu' secara utuh, mengingat kedua hal penting itu tidak
terpisah dari Islam secara utuh.
Dengan demilkian kita dapat memastikan bahwa Tasyayyu'
adalah konsep yang disajikan guna menjaga kelancaran dakwah setelah Nabi. Masa
depan yang memerlukan adanya suatu pimpinan Intelektual dan soslal pdltik dalam
rangka menelusuri perkembangan Islam secara serentak.
Dan sejak semula sudah terdapat orang-orang yang
mendukung kepemimpinan Ali sebagal individu satu-satunya di tengah-tengah
masyarakat Islam yang mampu memainkan peranan Khilafah dan melanjutkan kepemimpinan
dari ketiga orang yang telah mendahuluinya. Rasa hormat dan simpati itulah yang
mendorong hati masyarakat menyerahkan tampuk kepemimpinan kepadanya setelah
Utsman bin Affan tewas terbunuh. Rasa cinta mereka itu bukanlah Syi'ahis yang
bersifat spiritual ataupun politik. sebab Tasyayyu' adalah rasa yakin dan iman
bahwa Ali adalah pengganti secara langsung kepemimpinan Rasulullah. Tasyayyu'
mempunyai ruang lingkup dan pengertian yang lebih luas dari itu semua.
Tasyayyu' adalah sikap mendukung Ali secara menyeluruh sebagai pemimpin setelah
Rasul. Maka tidak dapat kita seenaknya membagi Tasyayyu' menjadi dua pengertian
saja secara terpisah.
Kita ketahui bahwa diantara para sahabat besar ada
yang mendukung dan berfaham Syi'i dalam segi intelektual dan politik sosial
seperti Salman AI-Farisi, Abu Dzar Al-Ghifari, Ammar bin Yasir, dan lain-lain.
Tapi sikap mengikuti secara mutlak atau Tasyayyu' mereka tidak terbatas pada
segi sosial politik saja. Tetapi mereka beriman secara sempurna bahwa Ali bin
Abi Thalib adalah pengganti Rasul dan pengemban dakwah setelahnya dan berfungsi
sebagal pemimpin intelektual dan politik sosial. Sikap iman mereka dalam hal
intelektual dan pemikiran tercermin dalam Tasyayyu' spiritual mereka yang telah
kita jelaskan tadi.
Adapun sikap mengikuti dan iman mereka dalam sosial
politik, itu tersirat dalam sikap protes terhadap kepemimpinan dan khalifah Abu
Bakar dan partai berkuasa yang telah mengambil hak kekhilafahan Ali.
Sebenamya pendapat yang memisahkan tasyayyu' moril
dari tasyayyu' politik tidak timbul dan dihasilkan oleh logika seorang yang
merasa dirinya sebagal seorang syi'i. Lontaran ini mereka keluarkan akibat dari
rasa putus asa dan apatis melihat kenyataan yang ada dihadapannya dan merupakan
pengamh dari jiwa dan semangat tasyayyu' yang mulai luntur dan lenyap yang
tidak lagi melihat Tasyayyu' sebagai konsep yang dipaparkan untuk melanjutkan
kepemimpinan Islam dalam rangka membina Ummat dan menyempumakan target
perombakan besar-besaran yang telah digariskan Rasul yang akhirnya condong
surut dan berubah menjadi ajaran dan bibit ideologi yang tersimpan di dalam
lubuk hati dan menjadikannya sebagal tongkat dan pembimbing dalam mencapal
ctta-cita dan angan-angannya saja.
Dari sini kita dapat menyadari mengapa sampai para
Imam dari keluarga Rasul dan Cucu Husain as. meninggalkan gelanggang sosial
politik dan memisahkan diri dari dunia dengan semua keributan dan romantikanya
yang bermacam-macam. Kita lihat Tasyayyu' yang merupakan konsep pengembangan
dakwah dan pelanjut kepemimpinan Islam
dan bahwa manifestasi dan misdak dari kepemimpinan Islam itu adalah aksi perombakan yang telah
diprakarsai demi penyempurnaan upaya membina Umat atas dasar prinsip dan ajaran
Islam. Jika itu semua kita sadari, maka tidak mungkin kita akan beranggapan
bahwa para Imam dari Ahli-Bait Rasul tidak lagi memperhatikan segi sosial
politik. sebab dengan tidak memperhatikan segi ini berarti mereka tidak
antusias kepada Tasyayyu' itu sendiri. Dan ini anggapan nihil bahwa para Imam
itu meninggalkan kancah sosial politik itu berdasarkan alasan bahwa para Imam
tersebut tidak lagi mengangkat senjata dan tidak mengadakan aksi pemberontakan
militer dalam menanggapi situasi yang ada pada saat itu. Anggapan seperti ini
adalah cermin kepicikan dan keterbatasan dalam memahami dan mengartikan
aktifitas polttik sebagai aksi pemberontakkan militer dan angkat senjata saja.
Dan kita mempunyai nash dan data otentik yang banyak
dari pada Imam yang menunjukan bahwa para Imam selalu siaga dan siap terlibat
dalam aksi militer bila terdapat di sisi mereka pendukung dan penglkut-penglkut
yang berani dan setia disamping bila ada kekuatan yang dapat menjamin
tercapainya cita-cita Islam melalui aksi militer tersebut.
Jika kita selalu memantau dengan teliti perjalanan
gerakan Syi'ahisme kita akan berkesimpulan bahwa para Imam dari Ahli-Bait Rasul
berpandangan bahwa menerima tampuk kekuasaan dengan sendirinya tidak dapat
menunjang dan menciptakan perombakan secara Islami, hal ini akan tercapai bila
kekuasaan tersebut didukung dan dibangun atas dasar pondasi dan pangkalan yang
kokoh serta sadar akan tujuan dan cita-clta kepemimpinan dan yakin akan
kebenaran teori itu serta menjelaskan sikap mereka kepada masyarakat disamping
mereka harus tabah menghadapi resiko penekanan dan Intimidasi dari luar dan
dalam.
Pada pertengahan abad pertama setelah wafatnya Rasul
tokoh-tokoh yang didukung oleh masa - sejak pengambilalihan kekuasaan dari
pihak yang kompeten - selalu berusaha mengambil kembali kekuasaan dengan cara
yang mereka anggap benar, sebab mereka masih yakin adanya tonggak-tonggak masa
yang sudah sadar atau sedang menuju kearahnya baik dan pihak Muhajirin Anshar
maupun dari pihak tabi'in. Tapi setelah berjalan lebih dari setengah abad dan
setelah rasa optimisme itu larut sendiri dikalangan mereka ditambah dengan
hadirnya generasi-generasi loyo di tengah-tengah arus penyelewengan yang
melanda pada saat ttu. Setelah menjadi suatu hal yang pasti bahwa apabila
gerakan Syl'ah menerima kekuasaan pun itu tidak akan membuahkan hasil dan
mewujudkan cita-cita yang diidamkan, karena tidak didukung dengan adanya
pangkalan dan tonggak-tonggak masa yang sadar dan siap untuk berkorban.
Menghadapi kenyataan ini diperlukan dua tindakan:
- Bertindak demi terciptanya tonggak dan sendi-sendi rakyat yang sadar sehingga dapat menyiapkan saat yang tepat dan menguntungkan untuk mengambil kembali kekuasaan.
- Menggerakkan dan menghidupkan nurani dan emosi Umat Islam serta menjaga semangat dan nurani tersebut, sehingga dapat melindungi mereka dari segala macam sikap lunak yang bisa menjatuhkan harga diri dan Identitas mereka selaku Umat Islam dari pihak penguasa yang zalim.
Tindakan pertama adalah tugas yang telah
dijalankan den para Imam dengan sendirinya. Dan tindakan kedua adalah tugas
yang harus dllakukan oleh beberapa tokoh dan kader revolusioner alawi yang
selalu rajin - dengan pengorbanan yang tidak sedikit - melindungi nurani dan
semangat jiwa Islami. Dan sebagian orang mukhlis daripada mereka mendapat
dukungan moril dari para Imam.
Imam Ali bin Musa Ar-Redha pernah berkata kepada khalifah Ma'mun -
ketika beliau mengenang jasa mulia bin Ali Zainal Abidin - la adalah termasuk
dari pada cendekiawan-cendekiawan keluarga Muhammad. Beliau murka dan marah
hanya karena Allah lalu berjuang melawan musuh-musuhNya hingga tewas
dijalan-Nya. Aku pernah diberitahu Ayahku Musa bin Ja'far bahwa ia dari ayahnya
Ja'far berkata: Semoga Allah menurunkan rahmat-Nya kepada pamanku Zaid. la
meminta kerelaan dan restu dari pihak keluarga Muhammad kemudian ia berhasil
dan Allah penuhi permohonannya. la berkata:
"Saya mengajak kalian agar rela akan keluarga Muhammad:"
(Wasa'il As-Syi'ah. Kitab al-Jihad).
Akhimya kita ketahui bahwa tindakan dan
sikap para Imam meninggalkan aksi mlitter dan pemberontakan fisik secara
langsung melawan penyelewengan-penyelewengan itu tidak berarti mereka
meninggalkan secara menyeluruh fungsi segi sosial politik serta memisahkan diri
dari urusan kekuasaan dan cita-cita mengambilnya kembali lalu hanya sibuk
berkhalwat dan melakukan ibadah ritual, tapi sikap demikian ini menggambarkan
dan menandakan perbedaan yang menyolok antara konsep tindakan yang berkenaan
dengan masalah sosial politik yang dttentukan oleh kondisi objektif dan
ditunjang dengan pemahaman yang mendasar tentang esensi dan kandungan yang ada
pada tindakan dan aksi perombakan serta metode dan cara mewujudkannya dalam
bentuk yang hadir dan terjelma dalam realitas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar