METODE PENDIDIKAN MUSLIM1
The History of The Qur'anic Text hal 183 - 190
Kitab suci agama Yahudi dan
Kristen nyaris telantar oleh tangan orangorang yang semestinya diharapkan jadi
pembela setia. Jika dalam bab-bab sebelumnya kita bermaksud hendak membiasakan
sikap kaum muslimin terhadap Al-Qur'an dan Sunnah, karena penghargaannya,
mungkin mereka kurang mampu menikmati kepuasaan melainkan setelah membandingkan
dengan Kitab Injil. Pembahasan secara mendasar mengenai metode pendidikan umat
Islam dirasa perlu-sebuah ilmu unik dan tak ada yang menyaingi hingga hari ini
serta amat penting dalam pemeliharaan Al-Qur'an dan Sunnah berlandaskan iman
sesuai dengan kehendak Allah 


Karena Al-Qur'an secara tegas
menyebut adanya kerusakan kitab-kitab itu dari dalam, maka komunitas Muslim
merasakan betapa pentingnya memagari AI-Qur'an
dari segala pengaruh yang
meragukan. Sepanjang sejarah Islam para penghafal Al-Qur'an,
huffaz,
memiliki keutuhan tekad
menyimpan isi kitab Al-Qur'an sepenuhnya ke dalam hati yang jumlahnya mencapai
jutaan sejak kelompok remaja hingga orang tua, jadi tulang punggung dalam
pemeliharaan ini; suatu keadaan yang tak pernah terjadi pada Kitab Taurah dan
Injil dan bahkan sikap kehati-hatian tidak terhenti sebatas
itu.
Menulis sebuah buku
dengan nama samaran adalah teramat mudah, apa lagi dalam dunia literatur
penggunaan nama pena sudah jadi masalah yang lumrah. Demikian pula, suatu hal
yang mungkin terjadi mengubah karya orang lain yang kemudian diterbitkan kembali
atas nama pengarang sesungguhnya.Masalahnya, bagaimana kejahatan
perbuatan seperti itu dapat dicegah? Dalam mencari jawaban, kaum Muslimin telah
merancang solusi sejak dahulu, membuat satu sistem yang tahan uji dan telah
beroperasi selama delapan atau sembilan abad; hanya karena melemahnya Islam di
pentas politik, sistem itu terhenti dan bahkan cenderung terabaikan. Mengkaji
ulang sistem ini berarti memasuki wilayah sentral tentang proses belajar dan
mengajar tentang ilmu Islam.
1. Kehausan Sumber Informasi
Sebelum Islam
muncul, tak ada sumber yang mencatat akan adanya buku bahasa Arab di semenanjung
Arabia. Sebenarnya Al-Qur'an merupakan buku pertama berbahasa Arab di mana iqra'
(berarti: bacalah!) merupakan pembuka kata yang diwahyukan. Dengan silabe
ungkapan itu menandai bahwa pencarian ilmu telah menjadi satu kemestian:
menghafal sekurang-kurangnya beberapa surah terlepas apakah ia orang Arab atau
bukan guna melaksanakan shalat sehari semalam. Sejarah juga mencatat, saat
Rasulullah sampai di Madinah, beliau segera memenuhi keperluan ini mengatur
persekolahan3 dan minta setiap yang berilmu walau masih minim
(ballighu `anni
walaw ayah) agar menyampaikan pada yang lain. Enam
puluh penulis wahyu yang bekerja di bawah pengawasan Nabi Muhammad saw.
dijadikan upeti dalam memerangi kej ahilan.4
Di zaman kekuasaan
para Khalifah, terutama tiga orang pertama sehingga tahun 35 hijrah, Madinah
berfungsi sebagai pusat agama, militer, ekonomi, dan administrasi negara Islam
yang pengaruhnya merebak hingga menembus sejak dari Afghanistan ke Tunisia,
Turki selatan hingga Yaman, dan Muscat hingga ke Mesir. Arsip-arsip yang begitu
banyak mengenai segi-segi pemerintahan dibangun, dikelompokkan, dan disimpan di
Bayt al-Qaratis
(rumah arsip)5 pada masa pemerintahan `Uthman.
Ilmu administrasi, hukum keagamaan, strategi politik dan kemiliteran, serta
semua hadith
Nabi
disampaikan pada generasi penerus melalui sistem yang sedemikian unik.6
2. Hubungan Ptibadi: Unsur Penting dalam Sistem
Pengajaran
Waktu merupakan
referensi penting dalam semua kejadian: dahulu, kini, dan mendatang. Waktu
sekarang secara otomatis akan menjadi bagian dari masa lampau; yang balk saja
berlalu, la akan hilang begitu saja. Kebanyakan peristiwa masa lampau akan lepas
dari genggaman dan bahkan tak mungkin dapat diraba, dan jika peristiwa itu
mendekat pada kita secara tidak langsung (seperti melalui bahan tertulis), maka
akurasi berita akan jadi puncak perhatian kita. Saat Rasulullah memasuki episode
sejarah, pemeliharaan Kitab Al-Qur'an dan Sunnah menjadi tanggung jawab para
sahabat, di mana komunitas Muslim mampu membuat satu konstruksi keilmuan yang
begitu njelimet
dalam
mengurangi ketidakpastian yang menjadi sifat dari sistem pengalihan ilmu
pengetahuan. Sistem ini didasarkan pada hukum kesaksian.
Pikirkanlah
pernyataan sederhana ini: A meneguk air dari cangkir saat ia berdiri. Walaupun
kita tahu keberadaan orang tersebut namun guna mengesahkan kebenarannya, hanya
dengan mengandalkan penalaran otak dirasa tidak memungkinkan. Barangkali A tidak
minum air sama sekali, atau mungkin minum dengan menelengkupkan tangan, bahkan
mungkin melakukannya sewaktu la duduk; semua kemungkinan itu tidak dapat
dimasukkan sekadar melalui kesimpulan. Maka, permasalahan yang ada tergantung
pada sikap kejujuran pembawa berita serta ketelitian seorang yang mengamati.
Oleh sebab itu, C, seorang pendatang baru yang tidak tahu duduk masalahnya,
untuk melacak berita itu ia akan berpijak pada cerita saksi mata B. Guna
melaporkan kejadian itu pada pihak lain, C harus menentukan sumber berita
sehingga kejujuran pernyataan di atas akan bergantung pada:
-
Ketelitian B dalam mengamati kejadian, dan kebenarannya dalam membuat laporan.
-
Ketelitian C dalam memahami informasi serta kebenarannya dalam menceritakan pada yang lain.
Membuat spekulasi
kehidupan pribadi B dan C pada umumnya tidak menarik minat para pakar kritik
dan sejarah, namun para ilmuwan Muslim melihat permasalahan yang ada dari sisi
pandangan yang berbeda. Menurut pendapat mereka, seseorang yang membuat
pernyataan mengenai A sebenarnya sedang membuat kesaksian terhadap apa yang
telah dilakukannya. Demikian juga, C sebenarnya membuat kesaksian terhadap
perilaku B, dan seterusnya, di mana setiap orang membuat kesaksian terhadap
pendahulu yang tergabung dalam jaringan mata rantai riwayat. Dengan memberi
pengesahan terhadap laporan tersebut berarti membuat kajian kritis terhadap
semua pihak yang tergabung dalam rangkaian riwayat.
3. Permulaan dan Perkembangan Sistem
Isnad.
Metode ini
merupakan genetika lahirnya sistem isnad. la bermula
sejak zaman Rasulullah yang kemudian merebak menjadi ilmu tersendiri pada akhir
abad pertama hijrah. Dasar tatanan ilmu ini berpijak pada kebiasaan para sahabat
dalam transmisi hadith di kalangan mereka. Sebagian mereka membuat
kesepakatan menghadiri majelis Rasulullah secara bergiliran, memberi tahu apa
yang telah mereka dengar dan saksikan;7
dalam memberitakan tentunya mereka harus menyebut, "Rasulullah melakukan ini dan
itu" atau "Rasulullah mengatakan ini dan itu." Dan, tentunya wajar jika orang
itu mendapat informasi dari tangan ke dua, ketika ia menceritakan pada orang ke
tiga, la akan menjelaskan sumber aslinya mencakup semua cerita yang
terjadi.
Pada dasawarsa ke empat kalender Islam, ungkapan-ungkapan yang belum sempurna
dirasa penting karena munculnya fitnah yang melanda pada saat itu
(pemberontakan terhadap Khalifah Uthman yang terbunuh pada tahun 35 hijrah).
Ungkapan itu sebagai langkah awal sikap kehati-hatian para ilmuwan yang mulai
sadar dan tetap ingin menyelidiki setiap sumber informasi.8 Ibn Sirin (w. 110 H.), misalnya,
mengatakan, "Para ilmuwan (pada mulanya) tidak mempersoalkan isnad, tetapi saat
fitnah
mulai meluas mereka menuntut, 'Sebutkan nama orang-orang kalian [para pembawa
riwayat hadith]
pada kami.' Bagi yang termasuk ahlus sunnah, hadith mereka diterima,
sedang yang tergolong tukang mengada-ada, hadith mereka dicampakkan ke
pinggiran."9
Menjelang abad pertama, kebiasaan ini mulai mekar
yang akhirnya menjadi cabang ilmu tersendiri. Kemestian mempelajari Al-Qur'an
dan Sunnah memberi arti bahwa sejak beberapa abad perkataan `ilm (ilmu), hanya
diterapkan pada kajian di bidang keagamaan,10
dan dalam masa yang penuh ghirah mempelajari ilmu hadith
telah melahirkan tradisi al-rihlah (piknik pencarian ilmu). Karena dianggap
sebagai salah satu syarat utama di bidang keilmuan, kita dapat menyimak makna
penting dari ucapan Ibnu Ma'in (w. 233 H) yang menyebut bahwa siapa saja yang
mengurung diri belajar ilmu di negeri sendiri dan enggan berpikir ke luar, ia
tidak akan mencapai kematangan ilmu.11
Bukti adanya pengalihan 'ilm melalui cara seperti ini datang dari
ribuan hadith yang memiliki ungkapan-ungkapan yang sama tetapi bersumber dari
belahan dunia Islam yang berlainan, yang masing-masing melacak kembali
asal-usulnya yang bermuara pada sumber yang sama, yaitu Rasulullah, Sahabat, dan
Tabi'in. Kesamaan isi kandungan yang menyebar melintasi jarak jauh, di suatu
zaman yang minus alat komunikasi
canggih, memberi kesaksian kebenaran akan kiat sistem isnad.12
i. Fenomena
Isnad dan Pemekarannya
Pemekaran sistem
isnad
pada permulaan abad Islam begitu menggiurkan. Anggaplah bahwa pada generasi
pertama seorang sahabat saja yang secara pribadi mendengar pernyataan
Rasulullah. Pada generasi kedua kemungkinan terdapat dua atau tiga dan bahkan
mungkin sepuluh orang, murid-murid pertama dalam mengalihkan kejadian, sehingga
apabila sampai pada generasi ke lima (yaitu periode para penyusunan kitab-kitab
hadith klasik) kita mungkin dapat menyingkap tiga puluh atau empat puluh orang
meriwayatkan berita yang sama melalui saluran yang berlainan melintasi ke
seluruh dunia Islam, dengan sedikit di antara mereka yang meriwayatkan berita
itu melalui lebih dari satu sumber. Bentuk penyebaran seperti itu tidak selalu
tetap pada semua hadith: di mana dalam masalah seperti ini mungkin hanya ada
satu orang yang memiliki wewenang meriwayatkan pada tiap generasi, walaupun hal
itu sangat jarang.13 Di
sini kita dapat lihat satu contoh hadith mengenai shalat:14
Abu Hurayrah
meriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda: "Imam haruslah diikuti. Bacalah takbir
apabila ia mengucap takbir, rukulah apabila ia ruku. Dan apabila ia mengucapkan
sami
'allahu liman hamidah (Allah mendengar orang yang memujiNya), bacalah rabbana wa laka al-hamd
(Ya Allah ya Tuhan
kami, segala pujian hanyalah untuk-Mu). Lalu apabila ia sujud, hendaklah anda
bersujud. Dan apabila ia bangkit berdiri, hendaklah kamu juga bangkit, tapi
jangan sekali-kali mendahului sebelum ia berdiri sempurna. Jika ia shalat duduk,
hendaklah kamu juga duduk semuanya."
Hadith ini,
tercatat sekurangnya 124 kali dan diriwayatkan oleh 26 pakar generasi ketiga
yang semuanya melacak keaslian hadith itu sampai kepada para Sahabat Nabi
Muhammad
Dalam
bentuk hadith serupa, atau yang memiliki makna yang sama, hadith ini ditemukan
di sepuluh tempat secara serentak: Madinah, Mekah, Mesir, Basrah, Hims, Yaman,
Kufah, Suriah, Wasit (Irak) dan Thaif. Tiga dari 26 ulama mendapat riwayat itu
lebih dari satu sumber. Dokumentasi yang masih ada menunjukkan bahwa hadith ini
diriwayatkan oleh sekurangnya sepuluh orang Sahabat; perincian jaringan
transmisi, tujuh dari sepuluh ulama yang ada, yang pernah tinggal di Madinah,
Suriah dan Irak, ada pada kita. Harap dilihat gambar
12.1.

Dengan kita batasi
pada seorang Sahabat, Abu Hurairah, kita temukan sekurang-kurangnya tujuh orang
muridnya yang meriwayatkan hadith tersebut; empat di antaranya menetap di
Madinah, dua di Mesir, dan satu di Yaman. Pada gilirannya mereka juga
menyampaikan kepada sekurang-kurangnya dua puluh orang lain: lima dari Madinah,
dua dari Mekah, masing-masing seorang dari Suriah, Kufah, Thaif, Mesir, dan
Yaman. Contoh serupa dari sahabat lain yang juga menunjukkan bahwa hadith
tersebut keberadaannya ditemukan di belahan tempat lain (Basrah, Hims, dan
Wasit) walau dapat bertemu kembali di Madinah, Mekah, Kufah, Mesir, dan Suriah.
Gambar berikut ini menggambarkan banyaknya jaringan riwayat tersebut sudah tentu
hanya satu dari puluhan ribu hadith yang ada.
1. Bab ini
sifatnya rada khusus; tujuan utamanya adalah memberikan gambaran bagaimana
ilmuwan Muslim membangun konstruksi sistem yang unik dalam meriwayatkan ilmu,
yang bermanfaat dalam mcnilai ketelitian informasi dan memagarinya dari faktor
yang merusak baik dari dalam maupun dan luar. Ini sebcnarnya hanyalah satu
diskusi ringkas, dan siapa yang tertarik dengan topik ini disarankan agar
membaca buku saya yang akan terbit, Islamic Studies: What Methodology? (Studi
Islam: Apa Metodologinya?). Sudah tentu ada di antara pembaca yang melihat
bab ini sebagai hal yang membosankan dan bagi yang bcrminat, dapat memilih
kesimpulan bab ini. Memang hal itu tidak menghalangi pemahaman bab-bab
sclanjutnya.
2. Qur'an
15: 9.
3. Untuk
detail lagi lihat M.M. al-A'zami, Studies in Early
Hadith Literature, hlm. 183-199;
alA'zami, Studies in Hadith Methodology and Literature, American Trust Publication, Indianapolis, 1977, hlm.
9-31.
4. Lihat M.M. al-A'zami, Kuttab an-Nabi, edisi ke 3, Riyad, 1401 (1981). Karya ini adalah kajian terperinei mengenai para penulis dan penyalin yang bekerja untuk Nabi.
5. Al-Baladhuri, Ansab
al-Ashraf, I: 22. Tampaknya tempat itu terletak bersebelahan dengan rumah
`Uthman, di mana Marwan menyembunyikan diri ketika Khalifah itu
terbunuh.
6. Lihat contohnya, Surat-surat
Khalifah Kedua `Umar, `Abdur-Razzaq as-San'ani, Musannaf, contohnya: jld. 1,
hlm. 206-291, 295-6, 535, 537; jld. 7, hlm. 94, 151, 175, 178, 187, 210,...d11.
Untuk perincian seterusnya lihat al-A'zami, "Nash'at al-Kitabah al-Fiqhiyyah",
Dirasat, II/2: 13-24.
7. Al-Bukhari, Sahih, Bab at-Tanawub fi al-'Ilm. 8. Penelitian terbaru oleh Dr. `Umar bin Hasan Fallata menunjukkan bahwa bahkan sampai tahun 60 H. sangat sukar ditemukan hadith palsu atas nama otoritas Nabi [al-Wad'u ti aL-Hadith, Beirut, 1401 (1981)j. 9. Muslim, Sahih, Mukadimah, hlm. 15; lihat juga al-A'zami, Studies in Early Hadith Literature, him. 213.
11 Al-Khatib,
ar-Rihlah, Damaskus, 1395 (1975),
him. 89.
12. Al-A'Zami, Studies in Early Hadith Literature, him. 15, hadith no. 3 (Seksi Arab). Tidak semua hadith tersebar begitu cepat. Namun di sisi lain ribuan buku juga telah hilang yang mungkin bisa jadi saksi mengenai penyebaran informasi yang lebih luas lagi.
13. Untuk
kajian yang lebih rinci mengenai 50 hadith , lihat Studies in Early
Hadith Literature, hlm. 14-103
(Seksi Arab).
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar